KompasProperti - Saat perang dunia berkecamuk di wilayah lain di Eropa, Margaretha Geertruida Zelle berjalan dari rumahnya, yang berada di sebelah kanal Smidswater di sepanjang gang sempit Jagerstraat dan menuju Lange Voorhout, Den Haag, Belanda.
Di sana, wanita yang lebih dikenal sebagai Mata Hari itu, akan menghadiri perserikatan diplomatik Den Haag, di mana keberadaannya masih ada sampai saat ini, yaitu Hotel Des Indes.
Dengan mengenakan jaket dan tudung panjang, ia mendatangi hotel megah ini untuk menjalankan tugas bersama atasan yang berada di kursi pemerintahan Belanda. Seiring bertambahnya usia, Mata Hari mulai mengandalkan bantuan dari orang-orang kuat di sekitarnya, untuk tugas mata-mata.
Dengan kepribadiannya yang menggoda nan eksotis, selama satu dekade Mata Hari berkeliling Eropa, dari satu hotel ke hotel lain, dalam penugasannya sebagai seorang mata-mata.
15 Oktober lalu, tepat menjadi hari kenangan atas meninggalnya Mata Hari setelah ditembak oleh sebuah regu penembak dari Perancis.
Diambil dalam Bahasa Prancis, yang menjadi salah bahasa diplomatik, Hotel Des Indes diterjemahkan sebagai 'Hotel Hindia Timur", atau lebih dikenal sebagai Indonesia, saat ini.
Negara yang diapit dua samudera dan dua benua itu merupakan permata bagi Kerajaan Belanda.
Hotel ini hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor parlemen dan istana Kerajaan Noordeinde, serta sering digunakan untuk acara kenegaraan seperti menyambut mahkota kerajaan, presiden dan perdana menteri sejak 1881.
Pada tahun 1990, kegiatan perserikatan diplomatik masih berlangsung di sana. Hotel Des Indes, yang awalnya merupkan kediaman milik seorang bangsawan, menjadi sebuah tempat yang sangat mengesankan.
Gerbang berbingkai kuningan yang diapit lambang kerajaan, lobi yang dilapisi marmer, perabotan beludru, serta tangga besar dengan pegangan tangga berpegas kuning berkilauan.
Melarikan diri dari daerah asalnya di Friensland utara, Gretha, demikian ia dikenal, menikahi seorang perwira kolonial pada usia 18 tahun dan pindah ke wilayah timur, ke Jawa dan kemudian Sumatera. Namun, pernikahannya gagal, dan pasangan itu kembali ke Belanda.
Pada awal 1990-an, Paris merupakan ibu kota hiburan yang berkilau di dunia. 'Gay Paree' menjadi pusat kota yang penuh kabaret, aula musik, teater dan bordil.
Dengan memanfaatkan tubuhnya, Zelle kemudian menjadi model dan melakukan sejumlah pekerjaan dengan menggunakan trik. Namun, ia memiliki ambisi untuk menjadi terkenal.
Pertunjukkan gala di museum tersebut pada 13 Maret 1905, menjadi sebuah kemenangan besar dan diberitakan secara luas oleh media-media di Paris.
The Eye of the Day, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "mata hari", merupakan istilah dalam bahasa Indonesia untuk matahari. Mata Hari mulai menerangi malam di kota paling menarik di Eropa.
Melakukan tarian adat Jawa, terbungkus dalam tudung diaphan, hingga hanyut dalam tarian striptis yang mampu membuat setiap jantung penonton berdebar-debar.
Seiring namanya yang terus membesar, Mata Hari mulai memiliki banyak penggemar, mulai dari pemodal Baron Henri de Rothschild, komposer asal Italia Giacomo Puccini, perancang Erté, dan banyak orang-orang kaya lainnya.
Memang, dia lebih banyak menghasilkan uang sebagai seorang grande horizontale dari pada penari eksotik.
Paris pun seakan terhipnotis dengan mantra yang keluar dari makhluk misterius itu. Ketenaran Mata Hari pun menyebar ke seluruh Eropa.
Usai pementasan itu, Mata Hari kemudian memulai hidupnya di hotel-hotel mewah di kota-kota terkaya di Eropa.
Mulai dari Berlin ke Istanbul, Monte Carlo ke Milan, berkeliling untuk kehidupan erotisnya. Hal yang luar biasa adalah hampir semua hotel top ia tinggali, dan masih menjadi properti utama sampai saat ini.
Ia mulai merasakan kehidupan yang lebih baik di Grand Hotel Paris, sebuah properti raksasa yang berada di sebuah segitiga blok dari Boulevard des Capucines, yang menghadap ke Gedung Opera Garnier yang megah.
Sampai saat ini, bangunan ini masih ada. Hanya berubah merek menjadi InterContinental Le Grand Hotel, namun tetap mempertahankan tampilan klasiknya.
Hotel ini menawarkan ballroom berkilauan sehingga tak sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana Mata Hari melenggang di tengah para pengagumnya yang kaya raya.
Setelah renovasi baru-baru ini, Pera Palace Jumeirah telah kembali menjadi hotel bintang lima papan atas. Dibungkus dengan marmer, warna merah yang mewah, serta dekadensi oriental yang kental, membuat Pera Palace tak akan mengecewakan Mata Hari saat ia kembali pentas melewati pintu putarnya.
Ia dapat menggunakan kandang besi, serta 198 furnitur dan lampu gantung kaca Murano yang sama untuk menerangi sensualitasnya.
Pada Agustus 1914, Mata Hari berada di Berlin untuk melakukan pementasan selama enam minggu di Teater Metropol. Menurut penulis biografinya, Julie Wheelwright, ia tinggal Haus Cumberland, yang kini telah berubah menjadi kawasan hunian papan atas.
Sebelum pertunjukkannya dibatalkan secara tiba-tiba akibat perang dimulai, Mata Hari sempat makan malam di Hotel Adlon dengan kepala kepolisian setempat yang juga tergila-gila dengannya, Traugott von Jagow.
Hotel tersebut merupakan hotel paling bergengsi di Berlin. Dibuka pada tahun 1907 oleh Kaiser Wilhelm, Adlon berada di Pariserplatz, di samping Brandenburg Gate.
Sempat dihancurkan sekutu dan artileri Soviet pada tahun 1945, bangunan tersebut kemudian dibangun kembali pada 1997 menjadi Hotel Adlon Kempinski, yang tetap mempertahankan gaya klasiknya namun dengan sentuhan milenial.
Mata Hari kemudian kembali ke rumah kastilnya yang berada di Den Haag. Rumah tersebut merupakan hadiah seorang aristokrat kepadanya. Namun, setelah beberapa bulan menghabiskan waktu di sana, ia merasa gelisah. Sebagai seorang warga negara yang netral, dia bisa melintasi wilayah perbatassan dengan bebas. Dan, dia memilih kembali ke Paris.
Mendengar hal tersebut, seorang konsul Jerman kemudian menghubunginya dan merekrutnya sebagai agen rahasia dengan kode H21, yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan rahasia ke Prancis.
Dengan mengelilingi area front barat perang, Mata Hari melakukan perjalanan melalui Kota San Sebastian dan Madrid. Di San Sebastian, Hotel de Londres y de Inglaterra menjadi tempat yang paling disukainya untuk menginap.
Hotel yang berada di pinggir Teluk La Concha itu, terus mempertahankan aroma utamanya. Kini, hotel tersebut menawarkan paket 'Mata Hari' kepada para tamunya, untuk mendiami ruangan seluas 45 meter persegi, dan menawarkan sensasi menginap layaknya yang dinikmati Mata Hari pada tahun 1916 dengan pemandangan laut yang indah.
Sedangkan di Madrid, dia tinggal di Hotel Ritz dan Palace Hotel, yang merupakan penginapan baru nan mewah di Ibu Kota Spanyol.
Kondisi keuangan yang mendesak, membuat Mata Hari bertemu dengan seorang atase Jerman dan melakukan, yang dalam kata-katanya ditulis sebagai 'tindakan intim'. Tak hanya itu, Mata Hari juga setuju unutk menjadi mata-mata Jerman.
Targetnya adalah atase Prancis, Kolonel Denvignes, yang pada akhirnya mengikutinya ke sebuah suites dan tercengang, 'Madam, saya belum pernah melihat hal yang lebih menakjubkan dari saat melihat Anda masuk di Palace Hotel kemarin."
Kemungkinan besar, kekaguman ini merujuk pada keindahan Rotunda Hall, dengan kubah besar berlapis kaca patri, yang kerap menjadi lokasi pertemuan khusus sampai hari ini.
Pada awal 1917, Mata Hari kembali ke Paris, dan hendak check in di Plaza Athénée di Avenue Montaige. Terletak di distrik Haute-Couture dan secara resmi dianggap sebagai hotel istana, yang saat ini lebih digemari oleh para perancang busana dan supermodel.
Namun, Athénée dianggap terlalu mahal sehingga dia pindah ke Élysée Palace, yang berada di Champ-Élysée. Di tempat ini, secara tiba-tiba kehidupan mewahnya berakhir saat ia ditangkap di Suite 131 pada 13 Februari.
Seakan dikutuk peristiwa itu, Élysée Palace menjadi satu-satunya hotel megah yang diketahui sering disinggahi Mata Hari, namun sudah tidak ada lagi.
Hotel itu bangkrut tiga tahun setelah peristiwa itu. Sempat dijadikan sebagai lokasi sejumlah bank, sejak tahun 2001 bangunan megah itu telah berubah menjadi kantor pusat HSBC di Prancis.
Restoran berlapis emas dan chandelier yang dulunya ada, kini menjadi kantin bagi para pegawai yang bekerja di sana.
Prancis kemudian memvonis Mata Hari atas tindakan memata-matai. Meski banyak pendapat yang menyebut bahwa tindakan itu dilakukan lantaran dia tidak berdaya, serta tidak ada nilai militer apapun yang diberikan.
Namun, karena Prancis saat itu tengah dilanda 'spy fever', sehingga mereka membutuhkan korban. Dan keberadaan wanita yang 'terkenal' itu cocok untuk dijadikan target.
Pada 15 Oktber 1917, Mata Hari dibawa dari selnya di penjara St Lazare di Paris ke tempat eksekusi yang dekat dengan Château de Vincennes di wilayah timur.
Menolak penutup mata yang diberikan, dan memilih meniupkan ciuman kepada para regu penembaknya, the Eye of the Day meninggal saat fajar di usia ke 41 tahun.
https://properti.kompas.com/read/2017/10/18/100938721/hotel-hotel-mewah-yang-pernah-disinggahi-mata-hari