Baca: Pesona Ritel Singapura Kian Redup, Mungkinkah Bisa Bertahan?
Peritel Australia dilaporkan mengalami penurunan penjualan terburuk dalam empat tahun terakhir karena konsumen kian mengendurkan belanja mereka.
Warga mulai mengurangi pengeluaran untuk makanan, perabot, dan pakaian, yang menjadi pertanda buruk bagi pertumbuhan ekonomi Australia pada kuartal ketiga ini.
Sebagaimana diwartakan Reuters, Kamis (5/10/2017), tren penurunan penjualan ritel kian terasa sejak pertengahan 2017.
Data dari Badan Pusat Statistik Australia (ABS) menunjukkan, penjualan ritel turun sebesar 0,6 persen pada Agustus, mengacaukan ekspektasi kenaikan 0,3 persen. Pada Juli lalu, hal serupa juga terjadi dengan penurunan sebanyak 0,2 persen.
Jika dianalisis, penurunan 0,8 persen pada Juli dan Agustus itu merupakan penurunan back-to-back terbesar sejak Oktober 2010.
Sektor ritel Australia sejatinya telah menunjukkan geliat perbaikan pada awal tahun ini. Akan tetapi, pemulihan tersebut berlangsung singkat karena tak diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Kondisi itu tentunya menyulitkan untuk mendongkrak daya beli konsumen.
Di balik kelesuan yang tengah terjadi, ada optimisme baru untuk bangkit. ABS mencatat, perputaran uang di sektor ritel daring (online) justru melonjak 6,3 persen pada Agustus dibandingkan bulan sebelumnya.
Aktivitas belanja daring, bagaimana pun, diperkirakan berkembang jauh lebih cepat dibandingkan konvensional pada masa mendatang.
Setali tiga uang
Kondisi tertekannya bisnis ritel Australia sesungguhnya merupakan fenomena global yang lazim terjadi dewasa ini. Perlambatan ekonomi dunia bisa menjadi faktor penyebab kondisi itu.
Di Indonesia sendiri, belum lama ini publik dikejutkan dengan tutupnya dua gerai Matahari Department Store di Jakarta.
Situasi itu memantik opini bahwa pusat perbelanjaan pun harus pandai-pandai berkreasi untuk menggairahkan kembali bisnis ritel.
"Kalau tidak kreatif dan inovatif, peringatan buat pengelola pusat belanja. Mereka akan tergerus, untuk kemudian mati, atau berevolusi mengikuti perkembangan zaman," ujar Associate Director Retail Service Colliers International Indonesia, Steve Sudijanto, seperti diwartakan KompasProperti, Selasa (3/10/2017).
Steve mencontohkan, banyak pengelola yang tidak hirau tren yang sedang berlangsung saat ini. Alhasil pusat-pusat belanja yang mereka kelola, sepi ditinggalkan penyewa dan juga pengunjung.
Hal ini terjadi pada pusat-pusat belanja kelas menengah, menengah bawah, dan kelas bawah, yang tidak jelas konsepnya alias masih mencari-cari jati diri.
Berbeda halnya dengan pusat belanja primadona, kendati masuk kelas menengah, namun bila pengelolanya menawarkan sesuatu yang baru yang tengah digandrungi, akan terus menerus dikunjungi.
Pasalnya, sekarang masyarakat datang ke mal, tak sekadar berbelanja, melainkan mengadakan pertemuan (melting point), relaksasi, memenuhi kebutuhan gaya hidup, dan juga tentu saja sebagai wahana catwalk.
"Orang kalau punya duit, daya belinya pasti ada. Apalagi kalau penghasilannya naik, daya beli ikut naik. Minum kopi saja harus ke kafe. Masalahnya sekarang, penghasilan nggak naik-naik. Pasti mereka irit. Inilah salah satu penyebab, sepinya pusat belanja," tuntas Steve.
https://properti.kompas.com/read/2017/10/06/110000421/setelah-singapura-giliran-ritel-australia-terguncang