Baca: Plaza Blok M Mulai Ditinggalkan Pengunjung
"Kalau tidak kreatif dan inovatif, peringatan buat pengelola pusat belanja. Mereka akan tergerus, untuk kemudian mati, atau berevolusi mengikuti perkembangan zaman," ujar Associate Director Retail Service Colliers International Indonesia, Steve Sudijanto, kepada KompasProperti, Selasa (3/10/2017).
Steve mencontohkan, banyak pengelola yang tidak hirau tren yang sedang berlangsung saat ini. Alhasil pusat-pusat belanja yang mereka kelola, sepi ditinggalkan penyewa dan juga pengunjung.
Hal ini terjadi pada pusat-pusat belanja kelas menengah, menengah bawah, dan kelas bawah, yang tidak jelas konsepnya alias masih mencari-cari jati diri.
Berbeda halnya dengan pusat belanja primadona, kendati masuk kelas menengah, namun bila pengelolanya menawarkan sesuatu yang baru yang tengah digandrungi, akan terus menerus dikunjungi.
Pasalnya, sekarang masyarakat datang ke mal, tak sekadar berbelanja, melainkan mengadakan pertemuan (melting point), relaksasi, memenuhi kebutuhan gaya hidup, dan juga tentu saja sebagai wahana catwalk.
Dandan sedemikian rupa ke mal-mal kelas atas atau premium seolah fardhu ain. Karena mereka yang datang ke pusat belanja kategori ini adalah mereka yang mafhum fashion bermerek dan pasti mengimpersonasikan diri dengan fashion setter atau idolanya.
Kembali ke pusat belanja kelas menengah, menengah bawah, dan bawah. Ramainya pengunjung bukan berarti bakal ketiban untung. Banyak juga pengunjung yang hanya window shopping alias "pegang-pegang dan lihat-lihat doang".
Padahal, para penyewa tentu mengharapkan para pengunjung ini dapat dikonversi menjadi pelaku belanja yang bertransaksi.
"Tentu saja, mereka mengharapkan terjadi transaksi pembelian. Tak sekadar ramai. Nah, konsep seperti apa yang memungkinkan pusat belanja ramai dan juga menguntungkan bagi peritel?," tanya Steve.
e-Commerce melonjak
Saat ini, tantangan pengelola pusat belanja tak kalah berat dibanding pengelola perkantoran dan juga pemasar apartemen.
Baca: Harga Sewa Perkantoran Jakarta Terus Merosot
Pusat belanja adalah sektor terakhir yang mendapat perhatian. Jika kondisi bisnis dan ekonomi makro secara umum dalam kondisi bagus, maka bisnis ritel atau pusat belanja juga mengikuti.
"Orang kalau punya duit, daya belinya pasti ada. Apalagi kalau penghasilannya naik, daya beli ikut naik. Minum kopi saja harus ke kafe. Masalahnya sekarang, penghasilan nggak naik-naik. Pasti mereka irit. Inilah salah satu penyebab, sepinya pusat belanja," papar Steve.
Tak hanya itu, ekspansi bisnis perdagangan daring (e-commerce) juga berpengaruh, kendati tidak terlalu signifikan. Bisnis ini terus mencatat pertumbuhan dari tahun ke tahun.
Bahkan, menurut AT Kearney, bisnis e-commerce di Indonesia tumbuh 68 kali lipat mencapai 1,4 miliar dollar AS pada 2016 menjadi 3 miliar dollar AS selama satu semester 2017.
Kalah dari Malaysia
Namun demikian, lembaga dunia ini menempatkan Indonesia di peringkat 8 dunia, jauh di bawah Malaysia dengan poin 55,9 dalam Global Retail Development Index (GRDI) 2017.
AT Kearney melakukan pemeringkatan ini berdasarkan pada empat variabel utama yakni attractiveness sebesar 25 persen, country risk (25 persen), market saturation (25 persen), dan time pressure (25 persen).
Untuk variabel attractiveness, poin Indonesia hanya 49,3. Kalah dari Malaysia sebagai sesama negara Asia Tenggara yang berada di posisi ketiga dengan 77,1.
Sedangkan untuk variabel country risk, Indonesia juga dipecundangi negeri jiran itu dengan poin 45.5.
Kemudian variabel market saturation, poin Indonesia lebih tinggi yakni 52,1, sementara Malaysia 23,3. Variabel terakhir yakni time pressure, Indonesia meraup nilai 76,7.
AT Kearney juga mencatat Indonesia dengan penduduk 259 juta dan paritas daya beli terhadap pendapatan per kapita sekitar 11.699 dollar AS, meraup penjualan total ritel senilai 350 miliar dollar AS.
Tak hanya kalah dari Malaysia, Indonesia juga berada di bawah peringkat Maroko yang menempati posisi 7, Vietnam (6), Uni Emirat Arab (5), dan Turki (4).
Sementara China bertengger di atas Malaysia yakni di posisi ke-2, dan India tampil sebagai pemuncak dengan poin 71,7.
Menarik peritel asing
Kendati sulit dipahami, negara terpadat di Asia Tenggara ini terus menjadi sasaran, dan menarik minat peritel asing. Hal ini karena adanya liberalisasi investasi, dan pembangunan infrastruktur.
Langkah-langkah ini dibantu oleh investasi berkelanjutan di bidang infrastruktur, terutama pilihan transportasi laut dan darat untuk memacu pertumbuhan dan menawarkan akses ke daerah-daerah yang kurang penduduknya.
Ada pun peritel internasional yang telah masuk dan memperluas ekspansi di pasar ritel Indonesia adalah LC Waikiki (Turki), Central Group (Thailand), Lotte Group (Korea Selatan), dan Aeon (Jepang).
Peritel kesehatan dan kecantikan juga tak kalah antusias. Operator ritel multiformat lokal, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) meluncurkan konsep kesehatan dan kecantikan baru, Boston Combo, di pusat perbelanjaan Pluit Village di Jakarta Utara pada tahun 2016.
Toko ini menawarkan pilihan lengkap produk kesehatan dan kecantikan serta layanan seperti pewarnaan rambut.
Selain mereka, perusahaan e-commerce global juga masuk pasar yang secara tradisional didominasi oleh pemain domestik.
Turun
Sementara secara umum, performa pusat belanja per Kuartal III-2107 tercatat terus mengalami penurunan.
Hal ini terindikasi dari tingkat hunian atau occupancy rate yang mencapai 83,5 persen. Turun 2,3 persen dari kuartal sebelumnya.
Angka ini merupakan yang terendah sejak satu dekade terakhir. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, baru kali ini tingkat hunian berada di bawah angka 85 persen.
Apakah ini sinyalemen para pengelola pusat belanja untuk semakin melek terhadap perkembangan zaman?
Seperti disinggung pada awal tulisan ini, Steve mengamini bahwa penurunan tingkat hunian adalah warning bagi pengelola pusat belanja agar tidak terus terlena dengan kejayaan sepuluh tahun lalu.
Kehadiran Aeon Mall Jakarta Garden City menambah 68.000 meter persegi terhadap total 4,63 juta meter persegi ruang ritel Jakarta.
Hingga akhir tahun, terdapat tambahan pusat belanja baru dari SOHO Pancoran, sehingga total luas pusat belanja menjadi 4,64 juta meter persegi.
Namun demikian, untuk tarif sewa mal mengalami sedikit kenaikan sebesar 5 persen menjadi rata-rata Rp 610.863 per meter persegi.
https://properti.kompas.com/read/2017/10/03/190239021/peringatan-buat-pengelola-pusat-belanja-berevolusi-atau-mati