Saat ini, kebutuhan rumah adalah sebanyak 800.000 unit per tahun dengan angka kumulatif mencapai 11,4 juta unit.
Mereka yang kesulitan mengakses perumahan, yakni masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberi sejumlah bantuan, misalnya uang muka dan cicilan rendah tetap selama 20 tahun.
Namun, masih ada persoalan lain yang membuat MBR belum mau membeli rumah. Bahkan, meski sudah dibeli, rumah tersebut tidak ditempati sehingga pemerintah dinilai salah membidik sasaran.
"Ada kecenderungan informasi bahwa rumah yang bangun itu tidak ditinggali atau kosong, diartikan bahwa proyek atau program gagal, salah sasaran. Saya luruskan kalau program tidak salah sasaran," ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin saat konferensi pers di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Kamis (28/9/2019).
Syarif menuturkan, persoalannya saat ini keinginan MBR memiliki rumah tidak sama dengan lokasi yang terbangun. Jadi, para MBR bekerja di kota, tapi rumahnya jauh dari pusat kota.
Menurut Syarif, rumah untuk MBR tersebut bukan investasi dalam artian masyarakat sudah punya rumah kemudian berinvestasi lagi. Ia menegaskan rumah MBR itu berarti merupakan rumah pertama.
Meski demikian, dari keseharian masyarakat, jumlah pengeluaran menjadi lebih besar akibat jarak dari rumah ke tempat kerja.
"Makanya mereka memilih untuk membiarkan rumah dengan terus mencicil hingga suatu saat dia tinggal di situ," kata Syarif.
Selagi mencicil rumah, imbuh dia, masyarakat tinggal di dekat tempat kerja dengan cara mengontrak.
Selain itu, rumah MBR juga dikosongkan karena ketidaksiapan infrastruktur, antara lain listrik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 26/PRT/M/2016 tentang Perubahan Atas Permen PUPR Nomor 21/PRT/M/2016 Tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan Rumah Bagi MBR, sepanjang listrik sudah dibayar, maka kredit dari bank dapat dicairkan ke pengembang.
"Sehingga bisa saja listrik belum masuk tapi dari aspek fungsinya untuk nyala bisa disiapkan pengembang. Mungkin dari genset," jelas Syarif.
Dia menekankan, program Sejuta Rumah harus dilihat secara keseluruhan. Meski demikian, karena program ini bersifat subsidi maka masyarakat telah benar-benar melalui suatu seleksi yang ketat, hingga bisa mendapatkan subsidi.
Seleksi ini meliputi penghasilan hingga persyaratan bahwa masyarakat yang bersangkutan tidak atau belum memiliki rumah.
https://properti.kompas.com/read/2017/09/28/133023421/pemerintah-bantah-program-sejuta-rumah-salah-sasaran