Sebut saja macet, banjir, dan kepadatan penduduk, sudah jadi bagian darinya.
Namun demikian, kota yang dahulu bernama Batavia itu tetap saja “legit”. Rona kehidupan seolah tak pernah padam di Ibu Kota.
Ya, Jakarta hari ini sedemikian gemerlap. Membayangkan wajah kotanya tiga tahun mendatang mungkin masih mudah.
Demikian pula, lima atau sepuluh tahun mendatang. Pesona itu sulit luntur dari kota dengan lebih dari 10 juta penduduk ini.
Lalu, bagaimana jika kita jauh menatap masa depan, seratus atau dua ratus tahun lagi. Masih samakah Jakarta?
Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, di masa depan amat mungkin Jakarta kian metropolis. Bicara Jakarta, tidak hanya sebatas lima kota dan satu kabupaten, tetapi lebih luas dari itu.
"Menangani penduduk yang semakin banyak, tidak bisa seperti sekarang. Kita perlu membuat Jakarta seperti konsep area metropolitan di Chicago,''ujar Bambang saat menjadi pembicara utama Konferensi Indonesia Future City & REI Mega Expo 2017, Senin (18/9/2017), di Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Banten.
Adapun acara tersebut terlaksana melalui kerja sama Kompas Gramedia dan Dyandra dengan REI serta Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Selain konferensi, ada pula pameran properti yang berlangsung hingga 24 September mendatang.
Menurut Bambang, kota Chicago di Amerika Serikat dapat menjadi contoh sebuah kota berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan penduduknya.
Pada 1970, kota penyangga yang diakomodasi sebagai bagian dari Chicago hanya sejauh lima kilometer. Namun, seiring bertambahnya penduduk, pemerintah setempat memperluas area metropolitannya menjadi sekitar 200 kilometer pada 2010 lalu.
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, pertumbuhan suatu kota mesti diikuti pula dengan perubahan cara mengelola kota tersebut. Sebisa mungkin, kota dapat bertransformasi menjadi sebuah kota cerdas (smart city) dan berkelanjutan.
Kebutuhan kota cerdas terasa mendesak jika kita berkaca pada penelitian Bank Dunia.
Menurut Bank Dunia, pada 2014, sebanyak 54 persen penduduk dunia tinggal di kawasan perkotaan. Persentase tersebut diprediksi meningkat hingga 66 persen pada 2050. Itu berarti arus urbanisasi semakin deras pada masa depan dan membuat masalah perkotaan juga kian kompleks.
“Karena itu, kita perlu mengantisipasi sedini mungkin. Terpenting adalah hadirnya kota cerdas harus berguna bagi kesejahteraan seluruh warganya," kata Bambang.
Tak cuma digital
Masih pada konferensi hari yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, konsep kota cerdas sebetulnya lebih dari sekadar pemanfaatan teknologi informasi.
"Teknologi hanya salah satu tools (alat). Komponen kota cerdas itu banyak, seperti ekonomi, mobilitas penduduk, lingkungan, pemerintahan, dan sebagainya," ucapnya.
Menurut Rudiantara, implementasi kota cerdas seyogianya memberi nilai tambah bagi kemudahan hidup masyarakat. Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi untuk antrean pembuatan paspor.
Lebih lanjut, di mengatakan, aspek krusial dalam membangun kota cerdas adalah ketersediaan ruang fiskal yang cukup di daerah tersebut.
"Jangan juga smart city hanya dijadikan kampanye saat maju di pemilihan kepala daerah," cetusnya.
Pembicara lain dalam konferensi tersebut adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata.
Pria yang karib disapa Eman itu mengatakan, Jakarta serta kota-kota besar lainnya akan terus tumbuh seiring waktu. Itu dilandasi pula oleh fakta bahwa sekitar tiga juta bayi lahir di Indonesia setiap tahunnya.
"Masalah di perkotaan umumnya terkait dengan perumahan. Budaya masyarakat kita terbiasa dengan tinggal di rumah horizontal dan itu tidak efisien," ujarnya.
Karena itu, imbuh Eman, kota yang selayaknya dikembangkan pada masa depan adalah kota-kota baru berbasis pembangunan ekonomi (economic based development). Hal itu bertujuan untuk meredistribusi penduduk dari kota yang padat serta menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.
https://properti.kompas.com/read/2017/09/20/160300721/200-tahun-lagi-masih-samakah-jakarta-