Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Posisi Indonesia di Antara Jalur Sutera dan Potret Hegemoni China

Pusat-pusat peradaban seperti Konstantinopel, Bursa, Antioch, Allepo, Damascus, Baghdad, Hamadan, Tashkent, Samarkand, Almaty, dan Kathmandu, menjadi bagian tak terpisahkan yang membawa kita ke kisah-kisah Seribu Satu Malam nan romantis sekaligus mistis.

Sementara jalur sutera laut menyambungkan legenda patriotik dan kejayaan pusat-pusat dagang seperti Ningbo, Ghuangzou, Goa, Muscat, Vijaya di Kmher, Hanoi, Pasai, Perlak, dan Sriwijaya.

Tak pelak jalur sutera merupakan bagian penting dari peradaban dan perkembangan kota-kota dan manusianya. Kejayaan teknologi, alih budaya, penyebaran inovasi bidang kesenian, ilmu pengetahuan, dan dogma, serta agama berjalan di koridor tersebut.

Selain itu berbagai wabah penyakit seperti campak dan influenza, dan berbagai penyakit sosial pun menyebar luas melalui pergerakan manusia yang terhitung masif saat itu.

Keamanan pun menjadi persoalan besar, bahkan lambang pertahanan negara paling masif sepanjang sejarah manusia yaitu Tembok China, dibangun spesifik untuk mengamankan jalur sutera ini.

Inilah infrastruktur keamanan buatan manusia yang termegah dan raksasa. Satu-satunya buatan manusia di planet ini yang dapat dilihat dari bulan!

Lengkap sudah, jalur sutera menjadi ikon peradaban manusia. Jalur ini selama ratusan tahun menjadi bagian penting dari tumbuh kembangnya kejayaan berbagai kota dunia. Ini dicirikan dengan vibrancy, atau semangat kehidupan warganya.

Bagi dunia, kebangkitan kembali politik dagang jalan sutera melalui Belt and Road Initiatives disambut dengan berbagai respon. Agresivitas China dalam menghidupkan koridor ekonomi jalur sutera darat dan laut terlihat nyata dalam determinasi pembangunan infrastruktur regional dan antar benua.

Tidak tanggung tanggung, menyatukan benua dan lautan menjadi koridor dagang dan ekonomi, dengan China menjadi motor utama penggeraknya.

Ekonomi motor ini bergerak secara global dengan kekuatan penuh. Bahkan bank pembangunannya, China Development Bank dengan aset 2,3 triliun dollar AS, memiliki aset hampir 5 kali aset World Bank dan Asian Development Bank (ADB) jika disatukan. Atau hampir 2,3 kali GDP Indonesia!

Selain akan mengubah perdagangan dan sistem pembayaran modern ke depan, aktifnya institusi finansial China juga memberikan kesempatan berdikari, dan kemiskinan pun akan berubah wajah.

Singapura sebagai hub ekonomi dan bisnis besar di kawasan Asia Tenggara dan Asia pun sudah jauh hari menyongsong era baru ini.

Ketika saya hadir di Regional Business Forum Singapore 2017 yang diadakan di Singapura Agustus lalu, terlihat determinasi hub ini untuk mendapatkan manfaat besar dari perkembangan korporasi sutera baru, atau paling tidak bertahan agar tidak tergerus oleh ekonomi lainnya.

Sejak 2016, tak kurang dari 76 miliar dollar AS, bisnis infrastruktur dari kesempatan yang berkaitan dengan jalur sutera baru ini, di mana Singapura memosisikan dirinya sebagai konektor dan kegiatan pembiayaan di bidang infrastruktur.

Indonesia di Simpang Jalan

Sangat jelas dalam berbagai forum jalur sutera kini, Indonesia menjadi bagian sangat signifikan. Bahkan Presiden China pun dalam banyak kesempatan terlihat secara eksplisit menjadikan Indonesia mitra penting BRI.

Dengan kebutuhan 500 Miliar dollar AS dana infrastruktur, Indonesia bak primadona yang menyerap pesona investor. Dengan APBN yang hanya akan dapat memenuhi tak lebih dari 40 persen kebutuhan tersebut sampai 2019, merupakan ceruk besar bagi pemain pembiayaan dunia.

Apabila semangat jalur sutera modern ini digambarkan saat ini, kira-kira akan seperti apa?

Penguasaan konektivitas tidak hanya dalam infrastruktur fisik, namun juga penguasaan fintech, jalur komunikasi global, payment gateways, sistem investasi aset-aset infrastruktur, properti, dan permodalan.

Namun, bedanya dengan zaman jalur sutera dahulu kala, saat ini semua negara, dan masyarakat dapat mengambil manfaat dari pertarungan ekstra keras untuk mendapatkan investasi ini. Inovasi, jaringan, keandalan SDM, dan peraturan setempat akan menjadi penentu siapa yang menjadi pemenang.

Dalam kaitan jalur sutera, maka konektivitas, dan perkotaan menjadi tumpuan utama. Tantangan Indonesia untuk memanfaatkan dana besar yang ada pun, berkisar di sektor kereta api, jalan, pelabuhan, transportasi perkotaan, dan kawasan industri.

Dengan 30 kota berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, dan 7 metropolitan utamanya, sebagai bagian dari 10 besar ekonomi dunia, Indonesia sangat memerlukan pendanaan infrastruktur.

Keterbatasan pendanaan infrastruktur dasar, memberikan tekanan berat bagi kota kota kita. Apalagi kalau dihubungkan dengan keinginan untuk membangun kota-kota layak huni yang mampu memberikan ruang tumbuh yang inklusif bagi warganya.

Ada dua hal yang bisa menjadi pilihan Indonesia dalam hal ini:

1. Mengemukakan agenda pengembangan wilayah, yaitu memanfaatkan sebesar-besarnya keuntungan yang didapat dari kegiatan jalur sutera untuk mengembangkan daerah, mengurangi ketimpangan dan mengentaskan kemiskinan.

Bagi kota-kota, ini berarti turunnya jumlah kawasan kumuh, ketersediaan air bersih bagi warga dan meningkatkan Human Development Index (HDI) kita.

2. Memanfaatkan kerja sama bilateral dan multilateral untuk program mempermudah akses warga terhadap pilihan-pilihan yang ada di dunia, baik untuk pengembangan kemampuan manusianya, maupun meningkatkan tingkat daya saing kota.

Semua harus smart dan efisien, termasuk transportasi perkotaan, konektifitas kota-kota pesisir, dan membangun perbatasan serta daerah terluar.

Pertanyaan mendasarnya, siapa aktor terpenting yang harus menjadi ujung tombak langkah kita menyongsong era koridor sutera baru ini?

Jelas salah satunya, adalah para perencana. Para perencana wilayah dan kota sebagai profesi, diharapkan dapat menjadi penyusun arah sekaligus pengendali pemanfaatan ruang dalam proses percepatan pembangunan infrastruktur ini.

Lalu siapkah para perencana kita menghadapi era baru ini?

Ada beberapa pengetahuan dan informasi yang akan sangat kritis bagi perencana untuk bisa efektif mengikuti perkembangan akibat Belt and Road Initiatives ini. Antara lain, tren bisnis dan komersial di regional, kondisi fiskal dan rezim perpajakan yang berkaitan dengan sektor infrastruktur, berbagai kemungkinan pola pembiayaan infrastruktur baik langsung maupun Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Pembiayaan Infrastruktur Non APBN (PINA), multilateral, maupun kesempatan pembiayaan melalui kerjasama bilateral.

Inilah waktunya para perencana keluar dari zona nyaman, dan mulai berpikir out of the box, dan melakukan rencana tata ruang yang berkelanjutan untuk berbagai infrastruktur prioritas seperti light rail transit (LRT) perkotaan, kereta cepat, kawasan ekonomi khusus (KEK), pelabuhan hub, dan sebagainya.

https://properti.kompas.com/read/2017/09/04/190000421/posisi-indonesia-di-antara-jalur-sutera-dan-potret-hegemoni-china

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke