Padahal, secara teori, upaya-upaya tersebut mestinya bisa membangkitkan gairah membangun bagi pengembang, dan membeli bagi konsumen.
Sebut saja deregulasi berupa Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XI mengneai penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final menjadi 0,5 persen dan tarif Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi maksimal 1 persen.
Berikutnya PKE XIII tentang Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Belum lagi nilai tukar Rupiah yang terus menunjukkan stabilitas berada pada kisaran Rp 13.300, dan suku bunga acuan Bank Indonesia juga rendah, 4,75 persen, serta tingkat inflasi 4,37 persen.
Namun, apa daya, semua faktor dan kondisi tersebut belum mampu mendongkrak sektor properti kembali kepada khittah-nya sebagai lokomotif ekonomi Nasional. Disebut sebagai lokomotif karena dapat mengerakkan sekitar 177 industri lainnya.
Demikian halnya dengan pengampunan pajak alias tax amnesty yang digembar-gemborkan bisa mengalir deras ke sektor properti, ternyata minim, untuk tidak dikatakan nihil.
Apa yang salah dari semua ini?
Managing Director Savills Indonesia Craig Williams secara khusus berbincang dengan KompasProperti, Rabu (26/7/2017). Dia mengatakan, sektor properti Indonesia belum akan bangkit dalam waktu dekat.
"Setelah itu, setelah semua rampung, seperti pembangunan infrastruktur, macam mass rapid transit (MRT), light rail transit (LRT), dan jalan tol, tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat," kata Craig.
Namun, hal itu juga tidak cukup signifikan. Pasalnya, pembangunan infrastruktur hanya bersifat "setengah-setengah". MRT Jakarta saja, hanya dibangun satu jalur dari Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia.
"Bagaimana dengan jalur lainnya? Kapan jalur transportasi di Jakarta terintegrasi dan konektivitas terwujud di seluruh wilayah? Sangat tidak efektif. Itu tidak akan cukup menjadi booster sektor properti," tambah Craig.
Begitu juga dengan beberapa inisiatif dan insentif seperti disebutkan di atas, belum bisa membawa sektor properti Indonesia ke masa-masa bulan madu tahun 2012-2013.
Khusus tentang tax amnesty yang dimulai pada 1 Juli 2016 dan berakhir pada 31 Maret 2017, Craig tidak melihat ada pengaruhnya. Ini karena dana yang masuk sektor properti tidak sebanyak yang diharapkan.
Selama 9 bulan pelaksanaan tax amnesty, sejumlah pencapaian memang cukup mencengangkan. Berdasarkan data Ditjen Pajak, total harta yang dilaporkan mencapai Rp 4.865,77 triliun. Angka tersebut berada di atas target yang dicanangkan yakni Rp 4.000 triliun.
Para pelaku bisnis sektor properti sangat "kegeeran" karena berharap terlalu tinggi terhadap amnesti pajak.
Untuk membangkitkan kembali gairah sektor ini, lanjut Craig, pemerintah harus memulihkan daya beli masyarakat.
"Goverment spending harus digenjot. Tidak hanya di sektor jangka panjang macam infrastruktur, melainkan juga daya beli masyarakat. Bagaimana cara meningkatkan daya beli? Ciptakan iklim ekonomi dan bisnis yang kondusif," tutur Craig.
Dia kemudian menyebut kebijakan fiskal yang setengah hati dan tidak terlalu menarik masyarakat, terutama kelas menengah ke atas untuk membeli properti.
Jika mereka membeli apartemen seharga Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, pajak yang dibebankan luar biasa tinggi.
"Pajaknya demikian tinggi, hampir Rp 500 juta. Siapa yang mau bayar pajak segede itu?," timpal Head of Research Savills Indonesia, Anton Sitorus.
Penuturan Craig dan Anton bukan isapan jempol belaka, atau hanya sentimen negatif sesaat. Suara realistis juga datang dari pengembang.
"Deregulasi yang diinisiasi pusat, terutama PKE XIII, hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah daerah (pemda). Banyak pengembang mengeluh karena masih banyak Pemda yang tidak menjalankannya di tataran praksis," beber Eddy.
Tak cuma itu, pungutan liar di beberapa daerah tertentu, kata Eddy, masih terus terjadi dan melembaga hingga level kelurahan.
"Bagaimana mau mencapai target Sejuta Rumah, dan properti bangkit jika PKE XIII tidak jalan di lapangan," keluh Eddy.
Padahal kebutuhan hunian masih sangat tinggi, sekitar 11,5 juta unit. Dari total jumlah itu, yang bisa dipenuhi pengembang, maksimal hanya 200.000 unit per tahun.
Jika PKE XIII tidak kunjung jalan, maka akses untuk mereduksi backlog hunian tidak akan mulus.
Selain itu. tambah Eddy, rendahnya kemampuan dan daya beli konsumen juga menjadi catatan tersendiri, mengapa kemudian tawaran-tawaran rumah baru dari para pengembang hanya menjadi "onggokan" di sudut-sudut kota.
Hal serupa berlaku juga untuk apartemen alias hunian vertikal. Data Colliers International Indonesia menyebutkan, tingkat serapan apartemen eksisting di Jakarta pada Semester I-2017 stagnan, cenderung turun 0,1 persen lebih rendah dari total 179.380 unit dibanding periode yang sama tahun 2016.
Kondisi lebih parah terjadi pada bisnis perkantoran. Riset Savills Indonesia menunjukkan, hingga Juni 2017, tingkat kekosongan gedung-gedung perkantoran mencapai 18,4 persen dari total luas 5,7 juta meter persegi.
"Padahal tingkat kekosongan sebelumnya 15,7 persen," kata Anton.
Ini artinya terdapat 894.000 meter persegi ruang kantor kosong di Jakarta atau lebih dari 90 kali luas lapangan sepakbola standar internasional.
Ada harapan
Kendati rapor merah terjadi di hampir semua sub-sektor properti, namun Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry salanto melihat masih da harapan pada masa yang akan datang.
"Setidaknya, fundamental ekonomi Nasional masih positif. Perbaikan untuk memulihkan ekonomi membawa sentimen positif. Langkah-langkah aktif pemerintah memulihkan ekonomi bisa mengembalikan kepercayaan pasar," kata Ferry.
Saat ini, tambah dia, sebetulnya momentum yang tepat bagi para konsumen rasional untuk membeli properti di tengah kondisi stagnasi harga.
https://properti.kompas.com/read/2017/07/27/184315321/maaf-sektor-properti-belum-bangkit-lagi-hingga-akhir-2019