Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bisnis Properti Masih Suram

Hal tersebut terlihat dari penjualan The Elements milik Sinar Mas Land yang dipasarkan dengan kisaran harga Rp 3 miliar-Rp 6 miliar, baru terserap pasar 43 persen.

Padahal pemasarannya sudah dilakukan sejak akhir 2015 dan diperkenalkan ke publik secara resmi pada 2016.

"Penjualan (apartemen) menengah atas itu kalau kita lihat jejaknya tidak seperti rumah tapak atau apartemen kelas menengah," ujar CEO Strategic Development and Services Sinar Mas Land Ishak Chandra di Marketing Gallery The Elements, Jakarta, Rabu (26/7/2017).

Ishak membandingkan penjualan apartemen menengah yang tengah dipasarkan juga adalah proyek Nuvasa Bay di Batam. Dia mengklaim, tidak butuh waktu lama hingga penjualannya mencapai 67 persen.

Tidak dapat dimungkiri, hal tersebut terjadi karena ekonomi secara nasional melemah. Selain itu, kata dia, penjualan 43 persen tersebut dihitung dari total 372 unit.

Padahal, Sinar Mas Land tidak menjual seluruh unit. Di menara pertama, setengahnya ditahan Sinar Mas untuk menjadi apartemen servis.

"Kalau dihitung berdasarkan unit yang dijual saja, tentu lebih dari 43 persen," sebut Ishak.

Meski tidak mencatatkan penjualan yang prima, ia berharap lokasi The Elements di segitiga emas Rasuna Epicentrum mampu menarik para pembeli, baik para investor atau penghuni langsung.

Bisnis masih lesu

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit menuturkan, properti kelas menengah memang memiliki penggemar dan tidak terdampak kondisi ekonomi, tetapi jumlahnya sangat terbatas.

"Kalau di segitiga emas ada yang beli, tapi enggak banyak. Mereka juga enggak langsung beli saat ada orang yang jual, mungkin keputusan belinya bisa berminggu-minggu," kata Panangian.

Ia membandingkan kondisi properti saat ini dengan kondisi pada 2011-2013. Dulu, dalam satu tahun properti kelas atas bisa terjual 200 unit.

Sekarang, untuk bisa terjual 20 unit saja sudah bagus meski pengembang sudah mengeluarkan biaya besar dalam pemasaran, baik melalui iklan atau mengarahkan broker.

Panangian menyebut pasar tertentu apartemen kelas atas ini antara lain ekspatriat dan pengusaha kaya.

Seperti ekspatriat, pengusaha ini sudah berpengalaman tinggal di luar negeri baik sekolah atau berbisnis.

"Supaya praktis, makanya (pengusaha) pilih tinggal di apartemen. Dia enggak mau tinggal di BSD City misalnya, karena jauh ke Jakarta," kata Panangian.

Selain ekspatriat dan pengusaha, imbuh dia, penggemar properti kelas atas juga termasuk investor. Namun, kembali lagi, investor juga biasanya sudah mempertimbangkan mau dijual atau disewakan ke mana properti tersebut.

Dengan demikian, investor yang bermain di level ini adalah yang berpengalaman di atas 10 tahun. Investor yang pengalamannya masih kurang dari 10 tahun tidak akan berani membeli properti kelas atas.

"Mereka kan juga berpikir kalau mau disewakan lagi ke ekspatriat. Tapi investor yang masih baru kan belum tentu tahu mau ditawarkan ke mana. Cari penyewa juga enggak gampang kalau harga beli propertinya di atas Rp 3 miliar," ucap Panangian.

Tersandung politik

Kelesuan properti di Indonesia, kata Panangian, sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global antara lain devaluasi yuan dan Britain's exit (Brexit).

Namun, di tengah ekonomi global yang tidak mendukung, kondisi politik Indonesia juga berkecamuk, yakni saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.

"Saat Pilkada itu orang pada takut (investasi). Itu terjadi hingga saat ini," jelas Panangian.

Terlebih lagi, lanjut dia, ada anggapan yang berkembang bahwa Pilkada Jawa Barat juga akan panas seperti DKI Jakarta.

Meski pada kenyataannya nanti belum tentu seperti itu. Karena kembali lagi, hal tersebut masih anggapan atau persepsi masyarakat.

"Tapi persepsi itu-lah yang terjadi sekarang dan memengaruhi investor. Penjualan properti menengah ke atas juga belum naik-naik karena persepsi," tandas Panangian.

https://properti.kompas.com/read/2017/07/26/214011921/bisnis-properti-masih-suram

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke