Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengganti Jakarta, Kota Baru Tiga Dimensi?

Karena ternyata, perkembangan yang terjadi kelihatannya semakin jauh dari yang diprioritaskan pemerintah. Atau bisa jadi, mereka bingung harus mulai dari mana?

Diawali dari perintah Presiden, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, saat itu langsung mengumumkan isu 100 kota baru.

Di lingkungan birokrasi, dibuatlah perintah menyusun 10 kota baru, dimulai dengan pembuatan 3 master plan atau rancangan induk kota baru.

Namun ternyata, niat tinggal niat, belum satu pun dokumen rencana tersebut terwujud. Bahkan dimulai pun belum.

Kini, tinggal satu isu kota, ibu kota baru. Entah benar atau hanya pengalihan isu, pada kenyataannya, kita menyaksikan kegamangan dalam merencana. Dari 100 kota baru, turun menjadi 10, kemudian turun lagi jadi 3, dan kini tinggal 1 kota yakni ibu kota baru!

Sambil kita menikmati parodi isu tersebut, masalah perkotaan terus berkembang pesat, dan demikian dinamis. Jadi, sudah bukan saatnya lagi kita melihat permasalahan kota secara linier.

Warga kota sebagai subyek utama, terus tumbuh. Namun kini ada fenomena yang niscaya akan mengubah pandangan kita tentang warga kota. Fenomena kewarganegaraan ini adalah “netcitizen”.

Sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang kota, netcitizen secara perhitungan angka, melipatgandakan jumlah warga sebuah entitas kota.

Profil kependudukan netcitizen ini bila digambarkan, akan berbentuk piramida sempurna dengan puncak tipis diisi kaum gaptek (gagap teknologi) alias renta secara kemampuan aplikatif teknologi.

Bayangkan saja, kaum ini adalah kelompok masyarakat yang lemah dan sulit memilih teknologi gawai pintar masing-masing. Kaum ini masih mengagumi begitu banyaknya mesin ATM di pelosok kota sebagai kemajuan sistem perbankan, padahal sekarang perbankan mulai berpikir ulang tentang konsep ATM.

Kaum ini berselancar dalam dunia internet-of-things dan cenderung sudah tidak lagi memakai ATM fisik untuk bertransaksi, dan mereka cenderung tidak mengerti kenapa perlu begitu banyak ATM yang disebarkan untuk memenuhi pelayanan.

Bagi mereka, pelayanan teritorial dalam konteks wilayah pelayanan baik di kota maupun pedesaan seperti ini adalah pemborosan. Kaum ini mendunia melalui dua jempol di laya sentuh.

Tiga Dimensi?

Dalam diskusi para perencana senior pada salah satu grup media sosial (medsos) yang saya banggakan, kami membahas istilah Perencanaan 3D (tiga dimensi). Sebuah perenungan untuk berpikir “business not usual” bagi kalangan perencana senior.

Seperti dilansir salah satu harian berbahasa Inggris terkemuka Indonesia Sabtu lalu, warga jenis baru ini mempergunakan saluran utilitas jalan tol informasi seperti WhatsApp, Twitter, Path, untuk berjuang dan bertahan.

Peperangan di kota baru ini berkembang menjadi wahana untuk menggapai supremasi kekuasaan “pseudo-intelectual” di antara para warga yang bisa sangat kritis ini. Semua warga mendadak seolah intelek, terjadi kesamaan arena berjuang, dengan fokus-fokus perjuangan mulai dari ideologi, pemikiran baru, sampai pelecehan terhadap wibawa seseorang.

Kita pun dituntut untuk lebih memahami bentuk Kota Baru ini. Kota ini memiliki teritori non-cadaster. Timbulah format deliniasi wilayah baru seolah-olah ada level kecamatan di situ. Kecamatan Alumni, Kelurahan SMABdg, MasaKecilBdg, AlumniSDKualaLumpur, TimPasukan-Pramuka.

Di kawasan khusus WA Group saya, ada Kecamatan Universitas, di dalamnya terdapat cluster desa AlumniPlanologi-ITB, PengurusYayasan-A, KeluargaBesar-Ex-DrumBand, dan sebagainya.

Di gawai pintar saya yang termasuk dalam kelompok renta teknologi, ada 53 WA group, di luar kelompok untuk pekerjaan kantor. Itu sama dengan perwilayahan 53 Kecamatan, yang notabene lebih besar dari kota Jakarta hanya punya 44 kecamatan.

Coba bayangkan, kalau di kota Jakarta ada gubernur, wali kota dan perangkat keamanan untuk menjaga ketertiban. Padahal di kota baru saya dengan jumlah kecamatan lebih banyak dari Jakarta, tidak tampak satu gelintir pun aparat satpol PP. Yang ada mungkin beberapa pejuang kaidah dan akidah denominasi tertentu.

Baca: Pikachu, Charmander, dan Ahmad Albar di Kota Kita

Sebaran lokasi fisik para warganya pun bisa di kota yang sama, di pelosok gunung atau di mancanegara. Berinterakasi pada saat yang bersamaan, tidak perduli jam kantor, pagi, siang, malam, atau di sela-sela bercengkerama dengan kekasih.

Menarik dikaji, seperti kota pada umumnya, ketika ada melibatkan emosi dan empati yang bisa menyinggung dan memicu perasaan para warga, seperti kasus salah bicara dan pilkada DKI, warga dapat serta merta secara instant berkumpul di ruang-ruang publik yang sebenarnya.

Nah, ternyata ada jembatan antara dimensi internet-of-things dan dimensi ruang kota tempat tinggal kita. Jembatan itu bernama ‘baper’, atau bawa perasaan. Ketika kenyataan ruang-ruang dialektika antar netcitizen memasuki alam rasa dan harga diri, maka rasionalitas menjadi mengemuka dan tak jarang mendapatkan pemecahan masalah nya di ruang publik.

Lalu seperti apa kota masa depan kita seharusnya? Tugas para teknokrat di pemerintahan perlu memikirkan kota 3D: Desentralisasi, Demokratisasi, Digital.

Hemat saya, perencanaan kota 3D membutuhkan pemikiran-pemikiran out of the box, untuk memanusiakan warga kota, menjamin kehidupan bermartabat, dan menjunjung kesejahteraan warga sebagai misi yang diemban bersama. Bukan baper!

https://properti.kompas.com/read/2017/07/24/080316821/pengganti-jakarta-kota-baru-tiga-dimensi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke