Jejaknya yang sangat lama itu diakui arkeolog, praktisi komunikasi, sekaligus penulis buku "Pancaran Limasan" Mitu M Prie. Dia meyebutkan bahwa bangunan limasan telah muncul sejak abad 8-9 Masehi.
Kini, bangunan dengan atap limasan yang dulunya hanya dikenal sebatas rumah tradisional Jawa telah banyak digunakan pada bangunan modern seperti perumahan dan tempat lainnya.
"Limasan mulai banyak diadaptasi pada atap-atap rumah. Ini bukan hanya tren, tetapi juga sudah menjadi aset. Variannya pun banyak dengan paling lama adalah limasan Borobudur dan Prambanan," kata Mitu, di Jakarta, Kamis (26/1/2017).
Atap limasan sendiri merupakan jenis atap paling populer di Indonesia dan jika dilihat dari konteks Jawa, keberadaannya melebihi jenis atap lainnya seperti panggang pe, pelana, joglo, dan tajuk.
"Karena limasan ini tak lekang zaman. Terus ada pada bangunan modern, ada di lobby hotel, tetapi lebih banyak digunakan di rumah-rumah karena dianggap lebih mewah ketimbang misalnya pelana yang atap kampung," tutur arsitek Rafael Arsono.
Rafael menambahkan, selain lebih mewah atap limasan juga cenderung lebih murah, lebih mudah dibangun, dan lebih arculated.
Atap limasan juga merupakan identitas karena semua orang memakainya ditambah dengan bawaannya yang netral serta mudah dimengerti.
Kendati mudah dibangun, Rafael menegaskan bahwa tantangan dalam membangun atap limasan justru ada pada penyelarasan proporsinya.
Pasalnya, ada jurai atau struktur pada atap limasan yang harus dibuat terlihat dan jika itu tidak sinkron atau tidak tepat maka akan terlihat jeleknya.
"Jadi walaupun ini dibuatnya gampang tapi kalau salah ya jadinya akan jelek juga," tandas Rafael.
https://properti.kompas.com/read/2017/01/27/213235821/limasan-atap-tradisional-yang-tak-lekang-zaman