Senior Associate Director Industrial Services Colliers International Indonesia, Rivan Munansa, mengatakan, "ngambeknya" Jepang hanya bersifat sementara. Isu seperti ini seringkali terjadi, dan itu tidak berujung pada penghentian bisnis dan investasi.
"Kehadiran Jepang sudah cukup lama di Indonesia, dan mereka sudah established. Isu ini kerap muncul. Sebelumnya Jepang juga sangat menginginkan proyek Pelabuhan Cilamaya. Jadi, ini hanya temporer saja, dan tidak akan memengaruhi investasi mereka di sektor properti," papar Rivan kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2015).
Rivan melanjutkan, investasi Jepang di pasar properti Indonesia cukup besar, bahkan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan. Tak hanya di sub-sektor apartemen, hotel, dan pusat belanja, melainkan juga kawasan industri.
Investor Jepang, sebut dia, sedang melakukan negosiasi dengan salah satu pengembang yang tergabung dalam konsorsium Trans Hexa Karawang. Mereka tertarik membangun pabrik di lahan kawasan industri tersebut. Adapun konsorsium Trans Hexa Karawang di antaranya adalah Gadjah Tunggal Group, Salim Group, Artha Graha Group, dan Agung Podomoro Group.
"Mereka menguasai lahan dengan luas total 1.967 hektar," tambah Rivan.
Jadi, lanjut dia, terlalu besar ongkos yang harus ditanggung jika Jepang angkat kaki dari Indonesia. Bukan perkara mudah menghentikan produksi dan menutup aktivitas bisnis serta merta seperti itu.
Sementara, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga kuartal II-2015 realisasi investasi asal Jepang senilai 370,1 juta dollar AS dari total 646 proyek.