JAKARTA, KOMPAS.com - Program "Sejuta Rumah" bukanlah barang baru. Pada Oktober 2003, mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pernah mencanangkan program serupa yang dinamakan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN-PSR). Gerakan itu bertujuan mendorong dan merangsang pembangunan rumah sederhana.
Namun demikian, menurut pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tjuk Kuswartojo, sampai saat ini kebijakan yang dibuat itu tidak fundamental dan menyentuh hal mendasar.
"Makna rumah umum tidak pernah dijelaskan. Pemerintah Indonesia tidak pernah tegas rumah itu apa. Masuknya jadi dagangan komoditi," ujar Tjuk pada Forum Diskusi Kompas di Hotel Santika, Kamis (17/9/2015).
Tjuk menuturkan, sejak era pemerintahan Megawati, pemerintah terkesan tidak serius menangani persoalan perumahan. Angka sejuta rumah diibaratkan seperti Candi Sewu, yang meski dikatakan ada seribu, namun jumlahnya tidak persis demikian.
Dia juga mengacu pada data sensus penduduk pada 2000 yang mencatat adanya 2.481.408 rumah kosong. Berdasarkan data itu terungkap bahwa jumlah paling banyak ada di Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tjuk menyayangkan pada sensus 2010 pemerintah tidak lagi mendata keberadaan rumah kosong. Padahal, di negara lain, "vacant house" digunakan sebagai indikator terjadinya surplus atau defisit rumah.
Siapakah MBR?
Tjuk juga mempertanyakan istilah rumah rakyat. Menurut dia, definisi akan rakyat yang layak mendapat rumah sejauh ini tidak jelas. Ia mengakui hal itu, meskipun selama ini pemerintah menggemba-gemborkan bahwa program Sejuta Rumah diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Rakyat yang mana dan di mana. Siapa di antara lebih dari 60 jura rumah tangga yang rumahnya patut mendapat perhatian dan bantuan pemerintah. Apa efek yang hendak dicapai dengan pembangunan perumahan ini, belum juga diketahui," kata Tjuk.
Menurut dia, yang selama ini dipersoalkan bukanlah proses dua tahun konstruksi rumah, tetapi siapa yang tinggal seumur hidup di sana. Pasalnya, rumah bukan hanya dibangun, tapi juga ditempati sepanjang zaman. Misalnya, hingga 50 tahun ke depan dan itu pasti mengalami dinamika.
Awalnya, rumah hanya diisi oleh suami dan istri. Kemudian mereka memiliki anak dan cucu. Setelah itu, anak dan cucu mungkin akan pindah dan suami istri ini akan kembali tinggal berdua. "
"Siklus ini kan panjang. Bukan soal sejuta rumah, tapi soal kehidupan," kata Tjuk.
Tjuk menyimpulkan, program Sejuta Rumah diibaratkan seperti orang yang berenang melawan arus. Daya dan tenaga besar banyak dikeluarkan tetapi kemajuan yang dicapai tidak diketahui. Bahkan mungkin tidak maju-maju.
"Kecuali, sekian triliun telah disediakan atau dikeluarkan untuk tugas dan kewajiban pemerintah. Apa peranan pemerintah pusat dan daerah harusnya dirumuskan dulu beerdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011," kata Tjuk.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.