Para pemimpin muda ini, lanjut Budiman, banyak kota cerdas mengidentifikasi persoalan yang ada. Setelah diidentifikasi, wali kota menyelesaikannya dengan aplikasi teknologi dan komunikasi.
Budiman menuturkan, kota semakin sarat dengan beban. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik, menurut dia, pada 1950 hanya 26 persen penduduk yang tinggal di kota. Pada 1990, jumlahnya meningkat hingga 50 persen. Dia memproyeksikan pada 2020, ada 85 persen penduduk yang tinggal di kota.
Bertambahnya penduduk, sejalan juga dengan bertambahnya beban yang berat bagi kota. Beban tersebut antara lain menimbulkan persoalan kriminalitas, tingkat stres yangn tinggi, dan permasalahan sosial yang ada. Realita ini dihadapi oleh kota dan pemimpinnya.
Berdasarkan hal tersebut, kata Budiman, Kompas untuk mengumpulkan 93 wali kota yang menggambarkan bagaimana pergulatan para pemimpin dalam menyelesaikan persoalan dengan teknologi dan komunikasi.
Dari 93 kota ini, Kompas kembali memilah dan memilih kota-kota yang secara cerdas menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam pemilihan ini, Kompas tidak bekerja sendiri, melainkan bersama Institut Teknologi Bandung dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN).
Dalam prosesnya, Kompas melibatkan lebih dari 1.000 peneliti. Mereka, lanjut Budiman, turun ke lapangan untuk mengetahui sejauh mana wali kota mengadopsi kemajuan informasi dan komunikasi untuk menyelesaikan masalah di kota.
Namun, bukan hanya mengukur teknologi, peneliti juga mengukur bagaimana persepsi warga di kota tersebut, apakah inovasi wali kota direspon oleh warganya. Dengan demikian, penelitian berangkat dari dua sisi, yaitu teknologi dan apresiasi warga.
"Kami meyakini, penggunaan teknologi komunikasi menjadi alat transportasi sosial dengan mengubah kota yang stres dan lambat," sebut Budiman.
Dia berharap, bangsa Indonesia bisa belajar secara horizontal ke kota lain di dunia. Jika aplikasi di kota lain di dunia lebih baik, maka sebaiknya ditiru dan diadopsi.