Menurut Jeffrey, pengembang atau arsitek bisa membuat standar tertentu tanpa biaya tambahan. Ia menjelaskan, selama kurang dari sepuluh tahun upaya Singapura menciptakan bangunan hijau, paling tidak kelebihan biaya yang ditemukan saat konstruksi adalah 3-5 persen.
Namun, kelebihan biaya ini akan kembali kepada pengembang atau pengelola gedung. Pengembalian ini setidaknya terjadi dalam kurun waktu 8-10 tahun setelah gedung beroperasi.
"Tolong bedakan antara cost (biaya) dan investasi. Kalau biaya, berarti uang Anda keluar begitu saja. Tapi, kalau investasi, uang Anda akan kembali," tutur Jeffrey.
Pada 2006, Singapura menyiapkan 20 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 196 miliar. Dana ini adalah investasi yang diberikan kepada pengembang swasta untuk membangun gedung-gedung ramah lingkungan.
Menjaga lingkungan dan energi di dalam gedung, menurut Jeffrey, sama saja menjaga aset. Tahun-tahun berikutnya bisa menjadi tantangan bagi gedung tersebut. Harga akan terus naik yang disebabkan biaya perawatan juga tinggi. Dengan demikian, transformasi gedung sangat penting khususnya untuk menjaga keberlanjutan gedung itu sendiri.
Tentu saja,menurut Jeffrey, gedung hijau seharusnya lebih tahan lama dan tidak cepat rusak dibandingkan gedung non-hijau. Ia menambahkan, saat ini, Singapura tengah membantu negara-negara berkembang sekitarnya, misalnya Thailand dan Myanmar, dalam mewujudkan kota-kota yang memiliki gedung hijau.
"Kami ingin menggunakan dan membagi pengalaman selama 10 tahun terakhir. Dengan begitu, negara-negara lain, seperti Indonesia, bisa mengurangi masa mempelajari membangun gedung hijau," jelas Jeffrey.