"Apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk menciptakan kota metropolitan yang bersih dan hijau," ujar Jeffrey di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Target ini, kata Jeffry, telah dipersiapkan sejak 10 tahun yang lalu. Selama 15 tahun, ia berharap, bangunan hijau bisa berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi Singapura secara keseluruhan. Bangunan hijau, merupakan bangunan yang memiliki daya tahan karena memakai energi yang lebih sedikit. Dengan begitu, bangunan tersebut mendukung keberlanjutan energi.
Dia melanjutkan, lingkungan merupakan prioritas kunci yang dilakukan otoritas Singapura dalam waktu mendatang. Sepuluh tahun lalu, kata Jeffrey, Singapura baru menyadari bahwa bangunan hijau sangat penting. Untuk itu, pada 2006 rencana induk sistem bangunan hijau pun dibentuk.
Setelah sistem ini terbentuk, imbuh Jeffry, saat ini fokus Singapurs adalah membangun cara pandang seseorang. Bukan hanya bangunan secara fisik yang berpengaruh terhadap keberlanjutan lingkungan, namun juga bagaimana orang-orang di dalam gedung menggunakan energi.
Saat ini, tutur Jeffrey, sebanyak 30 persen gedung di Singapura diklaim sebagai bangunan ramah lingkungan. Dalam kurun lima tahun, bisa mengejar ketertinggalan 50 persen lagi. "Pada tahun 2030, jika Anda menunjuk salah satu gedung, kemungkinan besar gedung itu ramah lingkungan. Anda juga memiliki kemungkinan 80 persen berada di dalam gedung ramah lingkungan," sebut Jeffry.
Ia menambahkan, saat ini, lebih dari 50 persen orang hidup di kota. Diprediksi, jumlahnya akan mencapai 70 persen pada 2050. Sementara itu, 16 dari 27 kota besar di Asia pada 2015, antara lain Tokyo, Mumbai, Bangkok, Shanghai, termasuk Jakarta, menghadapi tantangan urbanisasi.
Jeffrey mengungkapkan keinginannya supaya kota-kota ini bisa mengikuti Singapura untuk membangun gedung-gedung yang ramah lingkungan. Pasalnya, sejalan dengan pertambahan penduduk, khususnya di kota besar, kebutuhan energi pun meningkat.