JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini, banyak yang berharap harga barang-barang konsumsi, seperti properti khususnya rumah, turun.
Mungkinkah hal itu terjadi?
Sebelumnya, para pengamat kerap mengatakan, harga properti tak akan pernah turun, meskipun dalam situasi krisis. Mereka meyakinkan, yang terjadi adalah pertumbuhan harga menipis. Sementara nilai propertinya selalu naik.
"Namun, melihat kondisi sekarang, penurunan atau koreksi harga benar terjadi. Terutama di pasar seken (sekunder)," ujar Prinsipal LI Realty, Ali Hanafia kepada Kompas.com, Selasa (16/6/2015).
Ali kemudian mencontohkan, harga rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dua tahun lalu sekitar Rp 60 juta per meter persegi. Awal 2015 tiba-tiba melesat jadi Rp 135 juta per meter persegi. Karena transaksi di pasar seken sepi, harganya pun terkoreksi menjadi sekitar Rp 80 juta per meter persegi.
Harga setinggi Rp 135 juta per meter persegi, dianggap Ali sudah tidak normal. Dia pun mempertanyakan siapa yang mau membeli? Terlebih dalam situasi krisis seperti saat ini. Investor sekalipun yang fulusnya banyak, justru memilih sikap menunggu hingga harga jatuh.
Karena itu, imbuh Ali, harga rumah di Menteng sekarang terkoreksi menjadi hanya sekitar Rp 80 juta per meter persegi atau kembali kepada keadaan normal. Itu pun masih susah menjualnya.
Demikian halnya di Kelapa Gading. Per akhir 2014, harga sudah tembus Rp 70 juta per meter persegi. Sekarang transaksi berkurang, dan harga terkoreksi menjadi hanya Rp 40 juta-Rp 50 juta per meter persegi.
Fenomena serupa juga terjadi di daerah seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dan Balikpapan serta kota-kota lainnya. Ini dimungkinkan karena Jakarta, kata Ali, sampai saat ini masih menjadi barometer yang memengaruhi tren pasar properti daerah.
"Jika transaksi di pasar seken sepi, akan sangat memengaruhi transaksi di pasar primer. Hal ini harus diwaspadai pengembang," tandas Ali.
Meski begitu, Ali menekankan, turun tidaknya harga properti sangat bergantung pada kondisi pasokan dan permintaan di sebuah kawasan. Jika permintaan tinggi namun penawaran terbatas, harga tentu tidak akan jatuh.
"Tapi sekarang, melemahnya ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tidak jelas justru membuat semua kawasan "menderita", pengembang pun susah jualan," sebut Ali.
Alhasil, banyak pengembang yang kemudian menerapkan strategi mengurangi marjin keuntungan. Seperti yang diungkapkan Ketua DPD REI Batam, Djaja Roeslim. Menurut dia, untuk tetap berproduksi dan bisa meraup penjualan, para pengembang di Batam mengurangi marjin keuntungan hingga hanya 10 persen.
"Menurunkan harga tidak mungkin, karena ongkos produksi sudah sangat tinggi terkait kenaikan material bangunan 10 persen akibat nilai tukar Rupiah yang terus bergejolak," tutur Djaja.
Sementara di Jakarta, menurut CEO Leads Property Indonesia, ada pengembang yang menawarkan residensial premium di dekat kawasan central business district (CBD) dengan kemudahan pembayaran berupa cicilan hingga 120 bulan tanpa bunga.
"Mereka terpaksa melakukan itu agar tetap bisa mencetak penjualan. Pasalnya, transaksi properti seken di kawasan CBD juga turun 15 persen," buka Hendra.
Tendensi penurunan transaksi di pasar seken, lanjut Hendra, sejatinya sudah terjadi sejak akhir 2014. Hal itu terus berlanjut hingga sekarang.
Bahkan, Ali memprediksi kejatuhan akan terus terjadi sampai tahun depan. Pasalnya, Ali melihat Pemerintah Joko Widodo belum menunjukkan tanda-tanda memperbaiki ekonomi terutama sektor konsumsi. Sementara properti, termasuk barang konsumsi.
"Sebaliknya, Pemerintah sekarang justru mengejar-ngejar konsumen dengan pajak tinggi. Ini dampaknya bisa negatif sekali," tutup Ali.
Baca juga:
Transaksi Rumah di Pasar Seken Anjlok 50 Persen
Sektor Properti Makin Terpuruk
Ekonomi Loyo, Pengembang Raksasa Banting Setir
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.