"Kejatuhan tersebut dipicu kebijakan-kebijakan yang diberlakukan. Seperti pengenaan pajak penghasilan (PPh 22) terkait penjualan atas barang mewah. Ini bukannya memperbaiki situasi, sebaliknya justru semakin berdampak negatif," tutur Ali kepada Kompas.com, Selasa (16/6/2015).
Ali menyebut kawasan-kawasan yang mengalami penurunan transaksi di pasar seken adalah Menteng (Jakarta Pusat), Pondok Indah (Jakarta Selatan), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Kebayoran Baru (termasuk Dharmawangsa, Senopati, dan Srwiwijaya) di Jakarta Selatan, dan Puri Indah (Jakarta Barat).
"Di Menteng, contohnya, jika tahun lalu masih ada transaksi satu sampai dua rumah dalam seminggu. Kini sepi transaksi. Demikian halnya di kawasan-kawasan lainnya. Investor masih melanjutkan aksi menunggu (wait and see)," tandas Ali.
Sementara di sekitar kawasan Central Business Dictrict (CBD) Jakarta, menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, merosot sekitar 15 persen.
"Itu terjadi pada transksi residensial premium baik landed maupun apartemen," buka Hendra.
Tak hanya sepi transaksi, harga jual pun mengalami penurunan drastis alias terkoreksi. Ali membeberkan, dua tahun lalu harga rumah di Menteng masih sekitar Rp 60 juta per meter persegi. Awal tahun 2015 melejit jadi Rp 135 juta per meter persegi.
"Siapa yang mau beli? Itu enggak normal," tandas dia.
Karena itu, imbuh Ali, harganya sekarang turun alias terkoreksi menjadi hanya sekitar Rp 80 juta per meter persegi. Itu pun masih susah menjualnya.
Demikian halnya di Kelapa Gading. Per akhir 2014, harga sudah tembus Rp 70 juta per meter persegi. Sekarang transaksi berkurang, dan harga terkoreksi menjadi hanya Rp 40 juta-Rp 50 juta per meter persegi.
Fenomena serupa juga terjadi di daerah seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dan Balikpapan serta kota-kota lainnya. Ini dimungkinkan karena Jakarta, kata Ali, sampai saat ini masih menjadi barometer yang memengaruhi tren pasar properti daerah.
Ali memaparkan, sektor properti itu terkait konsumsi yang menggerakkan ekonomi Nasional. Jika sektor properti "diuber-uber" pajak, akan banyak sisi negatifnya. Investor akan semakin lama menunda pembelian properti. Mereka menunggu harga kian jatuh, baru kemudian membelinya.
"Ini kan tidak sehat. Harusnya pemerintah justru menerapkan sunset policy tahap II jika ingin menggerakkan ekonomi. Karena ekonomi kita digerakkan oleh sektor konsumsi. Dan properti termasuk barang konsumsi," imbuh Ali.
Sekadar informasi Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan kebijakan sunset policy pada 2008. Sunset policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
Paling "drop"
Ada pun properti yang mengalami drop paling dalam adalah untuk kelas menengah. Di segmen pasar ini, kata Ali, ada dua jenis pembeli, yakni yang bermotif investasi atau investor, dan pengguna akhir atau end user.
"Mereka (end user) dihadapkan pada situasi sulit. Mau membeli rumah menengah, harga terlalu tinggi untuk kantong, mau menunda tetapi sangat butuh. Sementara buat investor jadinya tanggung, lebih baik menunda," ujar Ali.
Sementara pembeli kelas atas yang didominasi investor, karena banyak duit malah menunggu sampai harga properti benar-benar jatuh. Setelah jatuh, mereka memborongnya untuk kemudian dijual kembali saat pasar properti pulih dan reborn yang diprediksi terjadi pada 2017 mendatang. Dari aksi tersebut, mereka akan mendapat untung besar.
"Untuk kelas bawah, tidak ada perubahan. Mereka ada duit beli rumah, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Begitu-begitu saja," pungkas Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.