Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yogyakarta Tak Berdaya Digempur Pemilik Modal

Kompas.com - 06/02/2015, 19:56 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Masifnya pembangunan pusat belanja dan hotel di Yogyakarta merupakan sebuah bentuk ketidakberdayaan pengelola sekaligus manajer kota terhadap gempuran para pemilik kapital.

Pengamat perkotaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Sani Roychansyah, mengutarakan pendapatnya terkait maraknya pengembangan properti komersial di Yogyakarta kepada Kompas.com, Kamis (5/2/2015).

"Saya pikir hal itu akan menggerus keistimewaan Yogyakarta. Ini menunjukkan ketidakberdayaan dan ketidakkonsistenan pengelola kota dalam menjalankan proses pembangunan, melalui kebijakan, program, maupun kegiatan yang relevan," tuturnya.

Padahal, lanjut dia, tujuan menjadikan Yogyakarta "istimewa" sebagai world heritage city masih perlu diperjuangkan lebih keras dan butuh konsistensi pengawalan menuju ke arah yang benar. Namun, pada kenyataannya, menurut Sani, fenomena pembangunan hotel maupun pusat belanja eskalasinya sudah terlalu besar, atau dalam kata lain sudah agak terlambat untuk mengejar dalam rangka mengendalikannya.

Sani tak menampik, bahwa Yogyakarta sedang tumbuh menjadi kota modern karena hal itu wajar terjadi di tengah kehidupan manusia. Terlebih jika modernitas itu berkembang untuk memperkuat rangkaian sejarah yang sudah ada.

 
"Saya termasuk orang yang tidak antipati dengan modernitas. Setiap periode mestinya perlu juga menampilkan eksistensi zamannya. Dan kota yang baik memang kota yang mampu merekam setiap perkembangan yang ada dalam dirinya. Masalahnya, Yogyakarta sebenarnya sadar mana yang boleh dibangun dengan modernitas tertentu, mana yang perlu dipertahankan/dikonservasi. Sayangnya, pemahaman ini selalu terkalahkan dengan kepentingan ekonomi," papar Sani.

Pembangunan pusat belanja dan hotel, kata Sani, memang merupakan bagian dari modernitas itu sendiri. Meskipun nuansa dan rasanya bisa dikemas atau dipadupadankan dengan budaya setempat. Akan tetapi, eksistensi fisik secara langsung justru akan memengaruhi persepsi termasuk adaptasi masyarakat untuk menerimanya.
 
Oleh karena itu, tambah Sani, pengelola harus memproduksi kebijakan yang utuh agar Yogyakarta tidak tergerus kepentingan kapital lebih luas. Kebijakan yang utuh itu mulai dari perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian ruang sesuai konteks dan tujuan yang ingin dicapai.

"Ada layer atau lapis-lapis ruang yang mestinya tidak boleh diganggu gugat karena terkait dengan ruh atau jiwa pembentukan kota, ada pula ruang yang harus disesuaikan dengan yang sudah ada, ada pula yang bisa mendapatkan sedikit kebebasan bereskpresi, termasuk yang terkait dengan ruang pamer bagi perkembangan terbaru kota," tandasnya.

 
Kota pusat belanja dan hotel

Dalam catatan Kompas.com, hingga Desember 2014 terdapat enam pusat belanja sewa yang beroperasi yakni Jogjatronic Mall, Ramai Family Mall, Ambarrukmo Plaza, Galleria Mall, Malioboro Mall, dan Jogjakarta City Mall.

Jumlah tersebut bakal bertambah dengan kehadiran enam pusat belanja baru yang beroperasi tahun ini hingga 2018 mendatang. Keenam pusat belanja tersebut adalah Hartono Mall Yogyakarta, Sahid Yogya Lifestyle City, Jogja One Mall, Malioboro City Mall, Lippomall Yogyakarta, dan Jogja Town Square.

Bahkan, menurut General Manager Hartono Mall Yogyakarta, Samuel Khristianto, kehadiran mal-mal tersebut masih kurang. Yogyakarta, menurut dia, masih butuh banyak pusat belanja seiring meningkatnya Indeks Tendensi Konsumen (ITK). Per Kuartal III 2014, ITK Yogyakarta mencapai 115,89.

"Jadi, tak berlebihan jika Yogyakarta menjadi kota seribu pusat belanja. Ada banyak peluang dan kesempatan, jika mampu merealisasikan pengembangan pusat belanja yang berbeda dengan konsep istimewa dan tentu saja segmen sasaran yang tepat," tandas Samuel.

Sementara di sektor perhotelan, hingga Desember 2014, terdapat 104 permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru. Dari jumlah ini, sebanyak 77 di antaranya telah mendapatkan IMB.

Dari 77 IMB yang sudah terbit itu, 36 di antaranya sedang dalam proses pembangunan dan akan beroperasi tahun ini hingga 2016 mendatang.

"Terlalu banyak hotel terbukti telah membuat pertumbuhan TPK menipis. Dalam catatan kami, hingga akhir tahun 2014 sebesar 65,22 persen atau hanya naik 2,15 persen dari tahun sebelumnya 63,07 persen. Padahal kami mengharapkan TPK 2014 bisa mencapai 75 persen. Namun, itu tidak terwujud,"  tutur Istidjab Ketua PHRI Yogyakarta, Istidjab M Danunagoro.

Untuk tahun ini, tambah dia, bisnis perhotelan masih diselimuti "warna kelabu". Pasalnya, belum ada tanda-tanda peningkatan aktivitas meeting, incentives, convention, and exhibition (MICE). Padahal, aktivitas MICE merupakan salah satu sumber pendapatan utama hotel kelas berbintang, selain pendapatan kamar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau