"Meski naik tipis dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar 63,07 persen, namun pencapaian tersebut sangat jauh dari ekspektasi kami sebesar 75 persen. Kami dan pengelola hotel lainnya harus membuat strategi untuk tetap dapat bertahan saat masa suram sekarang," tutur Ketua PHRI Yogyakarta, Istidjab M Danunagoro kepada Kompas.com, Senin (2/2/2015).
Moratorium, kata Istidjab, juga belum efektif, karena pasokan hotel di Yogyakarta sudah terlalu banyak. Di pusat kota saja terdapat 36 hotel baru yang sedang dibangun. Belum lagi 41 proyek lainnya menunggu giliran untuk dibangun. Pengembang proyek-proyek tersebut sudah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).
"Sementara 27 proyek lainnya belum mendapatkan IMB. Banyaknya hotel tersebut membuat tarif rerata harian (average daily rate atau ADR) juga tak bisa tumbuh signifikan. Bahkan ada kecenderungan menurun. Contohnya, ADR hotel bintang tiga yang rerata hanya Rp 400.000 per malam, hotel bintang 4 sekitar Rp 500.000, dan hotel bintang lima sekitar Rp 700.000 per malam," ungkap Istidjab.
Kondisi semakin parah, tambah dia, saat low season seperti Februari hingga April ini. Menurut Istidjab, jika sedang sepi tamu, tak jarang pengelola hotel menurunkan tarif atau menggelar promosi dengan harga khusus.
"Bahkan "perang tarif" sering terjadi. Terlebih kegiatan MICE (meeting, incentives, concention, exhibition) sedang sepi, tak ada tanda-tanda aktivitas, seiring pelarangan berkegiatan di hotel untuk instansi pemerintah," imbuh Istidjab.
Dia memperkirakan, bisnis hotel di Yogyakarta sepanjang tahun ini masuk masa-masa suram. Terlebih pada tahun-tahun mendatang saat 77 hotel baru seluruhnya beroperasi.