JAKARTA, KOMPAS.com - Pesatnya pembangunan properti komersial di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta Pusat, dalam sepuluh tahun terakhir, mendapat sorotan tajam berbagai pihak.
Kawasan GBK Senayan terkini dianggap telah beralih fungsi menjadi "pusat komersial", menyimpang dari peran dan fungsi awalnya sebagai fasilitas olahraga sekaligus kawasan resapan air dan paru-paru kota atau ruang terbuka hijau (RTH) untuk publik.
Selain fungsi olahraga dan RTH, saat ini terdapat tambahan fungsi komersial, termasuk fungsi rekreasi, perkantoran, perdagangan (pusat belanja), jasa (perhotelan dan ruang konvensi), hunian (apartemen), pemerintahan serta pendidikan.
Dalam pengamatan Kompas.com, pada Rabu (21/1/2015), fungsi komersial terbaru yang sedang dalam tahap konstruksi adalah Gateway Park. Lokasi Gateway Park ini berada di Jalan Pintu 1 Senayan, tepat berseberangan dengan Hotel Atlet Century.
Padahal, kawasan GBK Senayan, sudah ditetapkan sebagai “peninggalan nasional” (national heritage) yang perlu dipertahankan keberadaan dan fungsinya sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 94 Tahun 2004.
Fungsi kawasan GBK seluas 284,2 hektar tersebut sesuai dengan konsep awal pembangunannya pada tahun 1959 yaitu sebagai kawasan olahraga skala internasional. Didukung oleh pemanfaatan ruang yang didominasi RTH.
Urbanis dan pegiat arsitektur Indonesia, Bambang Eryudhawan, mensinyalir ada kesan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikap mendua terhadap aset tanah yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
"Kita tahulah, komersialisasi lahan pemerintah pusat menguntungkan kedua belah pihak, pusat dan daerah, walau belum tentu menguntungkan kota dan atau penduduknya," ujar Bambang.
Komersialisasi aset lahan, tegas dia, memang tidak salah, kecuali belum tampak niat untuk menahan diri dari godaan investasi properti dengan mengorbankan RTH GBK.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) Senayan, Novel Hasan, memastikan, properti komersial yang sedang dikembangkan di kawasan GBK Senayan, tidak akan menggerus fungsi dan peran RTH-nya sebagai paru-paru kota.
"Termasuk pembangunan Gateway Park tidak akan menghilangkan RTH karena hanya sepuluh persen luas area yang akan dibangun sebagai properti. Total lahannya sendiri seluas 5.000 meter persegi, sementara bangunannya 500 meter persegi, sisanya area hijau," tandas Novel saat ditemui Kompas.com, usai peresmian hotel Fairmont Jakarta, di Senayan Square, Rabu (21/1/2015).
Empat misi
Semua bangunan yang berada di kawasan GBK Senayan, lanjut Novel, telah diatur dalam peraturan tata ruang sehingga pembangunan tersebut boleh dijalankan. Menurut Novel, pembangunan Gateway Park juga telah disetujui oleh Pemda DKI.
“Batas pembangunan di komplek Senayan itu 20 persen. Saat ini baru 18 persen, jadi masih tersisa sekitar 82 persen untuk RTH. Properti ini juga sudah memenuhi syarat yang dicanangkan dalam empat misi PPK GBK," tambah Novel.
PPK GBK sendiri memiliki empat misi dalam mengelola kompleks Senayan, antara lain pelestarian budaya, menjadikan komplek Senayan sebagai paru-paru kota, sarana olahraga masyarakat, dan peningkatan sumber daya manusia.
Gateway Park merupakan properti komersial terbaru yang berada di kawasan GBK Senayan. Properti tersebut rencananya akan dibuat menjadi pusat olahraga bergaya modern. Namun, menurut Novel, dari pihak pengembang properti Gateway Park, Da Internasionale, masih ada perubahan desain yang akan dilakukan.
“Masih ingin dilihat sarana apa lagi yang dibutuhkan di Gateway Park,” tandas Novel.
Akan tetapi, menurut Bambang, melihat fakta di lapangan, seharusnya perencanaan kawasan GBK digarap secara seksama dan tranparan. Melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat dan Pemprov DKI Jakarta.
"Pasalnya kawasan GBK Senayan bukan semata-mata bagian dari Provinsi DKI Jakarta, melainkan bagian dari ibu kota Republik Indonesia. Oleh karena itu, perencanannya pun harus digarap bersama. Hal ini agaknya tidak terjadi. Keduanya main mata dan saling toleransi, dugaan saya begitu, melihat fakta yang ada di lapangan," tutur Bambang.
Di atas segalanya, Bambang menganggap, perencanaan kota di Indonesia memang masih bermasalah. Masih serba kabur, gelap dan jauh dari transparansi.