Kepala Dinas Tata Kota (Distako) Kota Bekasi, Koswara mengatakan pertimbangan penyetopan izin itu karena pembangunan perumahaan klaster menyebabkan banjir.
Salah satu pengembang yang membangun hunian di Bekasi, menyambut pertimbangan tersebut secara positif dengan beberapa catatan.
"Pada prinsipnya, saya menghormati kebijakan apa pun dari Pemerintah kota (Pemkot) Bekasi selama itu sudah dikaji secara mendalam dan jernih. Pemkot pasti juga sudah mempertimbangkan dari segala aspek," ujar CEO PT Anugerah Citra Sejahtera, Benlis Butar Butar kepada Kompas.com, Rabu (31/12/2014).
Meski begitu, dia menyebutkan, bila kebijakan ini diterapkan, akan terjadi beberapa efek ke depan, yaitu banyaknya lahan-lahan tidur di bawah 2.000 meter persegi yang tidak bisa dimanfaatkan. Kebijakan ini juga nantinya berpengaruh kepada pengusaha properti menengah ke bawah.
"Kebijakan ini bisa menghancurkan atau mematikan pengusaha properti kecil dan menengah, tetapi sekaligus memberi peluang kepada pengusaha besar yang bermodal besar," jelas Benlis.
Peluang bagi pengusaha besar tersebut, menurut dia, disebabkan karena persaingan properti menjadi berkurang. Matinya pengusaha properti kecil juga bisa mempengaruhi pendapatan Pemkot dari pajak.
"Dengan moratorium ini, mereka (pengembang kecil) tidak bisa bisnis properti. Karena usahanya tidak jalan, peluang (Pemkot) mendapatkan pajak jadi berkurang. Harusnya bersyukur ada pengembang properti kecil," jelas Benlis.
Ia mencontohkan, jika pengembang kecil membangun 10 rumah seharga Rp 500 juta saja, maka total pendapatannya menjadi Rp 5 miliar. Bila memberlakukan pajak 10 persen dari pendapatan, maka pemerintah bisa mendapatkan Rp 500 juta.
Adapun pengaruh lain dari kebijakan ini terhadap konsumen, menurut Benlis, adalah terhambatnya keinginan mereka memiliki rumah tapak di tengah kota dengan harga terjangkau.
Benlis juga kurang sepakat jika alasan pemerintah membatasi pembangunan di lahan kurang dari 2.000 meter persegi adalah karena untuk mencegah banjir.
"Kalau masalahnya adalah untuk mengatasi banjir, atau kurangnya infrastruktur, itu kan tugasnya pemerintah untuk mengawasi," kata Benlis.
Ia melanjutkan, selama ini yang terjadi adalah pengembang mengajukan izin kepada pemerintah, tapi tidak ada pengawasan apakah denah lokasinya sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah (RTRW) maupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Saat ini, pembangunan klaster dengan luas lahan di bawah 2.000 meter persegi cukup meminta persetujuan pihak kecamatan. Sementara luas lahan lebih dari 2.000 meter persegi, perizinan diajukan ke Pemkot.
"Dia (pengembang) harus izin tetangga, lurah setempat. Di situ harusnya dicek, site plan dan bagaimana bangunannya. Kalau kira-kira membuat banjir, solusinya seperti apa? Dari dulu Bekasi memang sudah banjir, kan bukan semata-mata kesalahan pengembang," papar Benlis.
Oleh sebab itu, Benlis menyarankan, pemerintah sebaiknya memperketat pengawasan dan koordinasi hingga ke pejabat di tingkat bawah.
"Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi aturan-aturan yang harus dilakukan pengembang secara transparan, serta penegakan hukumnya bagi yang melanggar," imbuh Benlis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.