Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PERBANKAN

Pemerintah Harus Tegas Dorong Konsolidasi Perbankan

Kompas.com - 03/10/2014, 12:04 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan, bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia sangat membutuhkan policy bank (bank khusus). Secara pribadi, dirinya mengaku mendukung konsolidasi perbankan karena kebutuhannya yang mendesak.

Demikian Sigit mengatakan hal itu dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (2/10/2014) kemarin. Apalagi, lanjut Sigit, ketika menjabat sebagai Dirut BNI, dia telah menginisiasi untuk mengakuisisi Bank BTN pada delapan tahun yang lalu, namun menemui penolakan oleh para karyawan BTN. Dari kondisi tersebut, Sigit menilai sangat diperlukan cetak biru perbankan nasional untuk 5-10 tahun mendatang.

"Cetak biru yang setara undang-undang ini menjadi konsensus berbagai pihak, baik Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, pemerintah, termasuk DPR-RI, mengenai mau jadi seperti apa bank BUMN ke depannya," ujarnya.

Sebagai informasi, Malaysia, melalui Bank Negara Malaysia telah mempunyai cetak biru (blueprint) pengembangan sektor keuangannya untuk periode 2011 hingga tahun 2020. Untuk itulah, menurut dia, Pemerintah harus tegas mendorong konsolidasi perbankan dan jangan berwacana terus mengenai hal ini.

Sementara itu, Chairman MECODEStudies Mangasa Augustinus Sipahutar, mengatakan perlunya mendorong konsolidasi perbankan. Pasalnya, semakin lama pemerintah berwacana, konsolidasi perbankan tidak pernah bisa terwujud, sehingga industri perbankan nasional semakin lama akan dikuasai investor asing.

"Pemerintah jangan berwacana terus mengenai konsolidasi perbankan, tanpa pernah dilaksanakan sama sekali. Jika pemerintah mau, 10 tahun lalu sudah jadi," kata Mangasa.

Mangasa juga mempertanyakan alasan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) dari Bank Indonesia (BI) tidak pernah diberlakukan kepada pemerintah yang notabene memiliki empat bank BUMN.

"Kebijakan SPP nggak pernah diterapkan kepada pemerintah. Padahal, bank-bank pemerintah lebih mudah digabungkan karena pemiliknya cuma satu, yakni Pemerintah Republik Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, tindakan pemerintah yang cenderung tidak mengonsolidasikan bank-bank BUMN dan sering berwacana membuat kinerja beberapa bank terus merosot. Mangasa mencontohkan, kinerja Bank BNI yang terus menurun pertumbuhan labanya dan Bank BTN, yang kekurangan permodalan untuk ekspansi. Bank BNI, 15 tahun lalu, masih menjadi bank terbesar di Indonesia, namun sekarang posisinya melorot menjadi bank keempat terbesar.

"Coba, andaikan pemerintah mengonsolidasikan perbankannya sepuluh tahun lalu, kemerosotan seperti itu kan tidak perlu terjadi," jelas Mangasa.

Mangasa menegaskan, sikap tegas pemerintah dalam hal konsolidasi perbankan sangat diperlukan. Meski terlambat dalam merespons Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Mangasa menilai tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk memperkuat permodalan dan aset bank-bank BUMN, melalui konsolidasi perbankan. Jika tidak juga mengonsolidasikan bank-bank BUMN, kepentingan asing akan semakin mendominasi industri perbankan nasional. Apalagi saat ini, perbankan nasional hampir dikuasai oleh asing melalui bank-bank swasta.

"Kalau asing sudah menguasai, maka kepentingan yang dominan adalah kepentingan pemegang saham asing. Mereka tidak akan pro terhadap kepentingan rakyat ataupun pertumbuhan ekonomi. Makanya, segera lakukan konsolidasi perbankan," katanya.

Seperti diketahui, rencana pemerintah mengakuisisi PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk oleh PT Bank Mandiri Tbk dibatalkan setelah pertemuan Serikat Pekerja BTN dengan Menteri Koordinator Ekonomi, Hatta Rajasa, Senin (5/5/2014) sore.

"Dibatalkan dengan mempertimbangkan sisi positif dan negatif yang lebih besar untuk kepentingan negara terhadap rakyat," kata Ketua SP BTN Satya Wijayantara kepada Kompas.com, Senin malam.

Pembatalan tersebut akan tertuang dalam pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham-Luar Biasa (RUPSLB) BTN pada 21 Mei 2014, yaitu dengan tidak menjadikan akuisisi tersebut pada agenda RUPSLB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com