Pemerintah Tiongkok mulai mendorong pembangunan "eco-city" pertengahan dekade ini. Sejak saat itu, ratusan kota baru tumbuh di seluruh negeri. Sayangnya, hal itu tidak disertai konsep komprehensif dan terintegrasi seperti komit terhadap standar arsitektur hijau ketat. Konsep kota masih samar-samar dan bersifat eksperimen dengan perencanaan kota progresif dan terpisah dari jaringan infrastruktur transportasi.
Satu di antara kota baru tersebut adalah Tianjin Eco City. Kota baru ini merupakan hasil kolaborasi pemerintah Tiongkok dan Singapura. Tianjin Eco City diproyeksikan menelan dana konstruksi sekitar 24 miliar poundsterling atau setara Rp 470,6 triliun.
Tianjin Eco City seluas 30 kilometer persegi ini dirancang sebagai model pembangunan berkelanjutan. Gedung-gedungnya dibangun sesuai standard bangunan hijau. Pada saat konstruksi kota baru ini selesai tahun 2020, dapat mengakomodasi 350.000 orang. Tahap pertama seluas tiga kilometer persegi, didesain dapat menampung 6.000 penduduk permanen.
Menurut Neville Mars, seorang arsitek yang berbasis di Shanghai dan penulis buku tentang eco city, Tianjin memiliki keunggulan karena kedekatannya dengan kota metropolitan besar dan hub bisnis dan perdagangan.
Di luar Tianjin, banyak proyek eco-city ambisius lainnya, termasuk Caofeidian di provinsi Hebei,yang mangkrak di tengah jalan. Masalahnya, kata Mars, adalah "model kota baru" tidak dirancang secara organik.
Selain itu, beberapa ahli mengatakan bahwa bangunan hijau bersertifikat dan jalur pejalan kaki, bukan solusi. "Orang-orang Tiongkok menggunakan banyak batu bara untuk transportasi, karena itu sangat murah," kata Tao Ran, Direktur Pelaksana Brookings-Tsinghua Center yang menyorot kebijakan publik.
Saat ini, Tianjin Eco-city berkembang lebih seperti sebuah simulacrum. Banyak gedung berstandar hijau dan ramah lingkungan, terlihat dari penggunaan panel surya sebagai sumber energi, namun sebagian besar tidak terpakai.
Walaupun pengembang mengklaim lebih dari 1.000 perusahaan telah terdaftar dan akan membuka usaha di kota ini, namun banyak etalase pusat belanja kosong melompong. Kondisi yang sama terjadi juga di luar pusat belanja; warung makan, dan kedai kopi digembok pemiliknya karena tidak ada pembeli.
Manajer Perkotaan, Xu Wenjiao, mengatakan mereka kini membutuhkan lebih banyak orang untuk menghuni properti-properti di sini. Untuk mendorong orang-orang tertarik datang ke Tianjin, Xu menawarkan biaya kuliah hanya Rp 784.000 per bulan.
"Semua upaya dilakukan supaya orang tertarik pindah ke Tianjin. Investor properti ingin asetnya ada yang menyewa dan ditempati," ujarnya.
Berhasilkah upaya Xu? Butuh waktu lama tentunya agar masa depan Tianjin bukan batu tulis kosong semata. Berikut video kondisi aktual Tianjin Eco City: