Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

69 Tahun RI, dari Hutan Hijau Menjadi Hutan Beton yang Mahal....

Kompas.com - 25/08/2014, 10:53 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com - Sekitar tujuh dekade lalu, dengan biaya Rp 120 ribu, Anda bisa mendirikan bangunan. Sekarang, untuk membangun gedung yang sama, Anda perlu merogoh uang miliaran hingga triliunan rupiah.

Itu adalah realita hidup di Indonesia. Tahun ini, bertepatan dengan memperingati 69 tahun kemerdekaannya, kenyataan itu jelas sangat berubah. Sejak 1945, tak ada perubahan yang lebih jelas dan berarti daripada perubahan di sektor properti. Disusun oleh Lamudi, seperti berikut inilah perubahan penting dalam pasar properti di Tanah Air:

1. Sulitnya hak milik properti

Pada periode pra-kemerdekaan, setidaknya terdapat 60 juta jiwa tinggal di Indonesia. Pada saat itu, hampir tidak mungkin bagi pribumi lokal untuk memperoleh hak milik atas properti karena kurangnya akses ke mata uang yang berlaku, Gulden.

Penelitian Lamudi menunjukkan, pada 1930, biaya untuk membeli 100 meter persegi tanah mencapai 1.8 kali pendapatan rata-rata seseorang. Sekarang, dengan luas tanah yang sama, biayanya lebih dari 65 kali upah rata-rata di Jakarta.

2. Pemicu perkembangan Properti

Besarnya dominasi Jakarta dalam dunia perpolitikan dan perdagangan memicu peningkatan dramatis dalam kepadatan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk itulah yang pada akhirnya membuat properti semakin diminati di ibukota.

Sebagai contoh, pada tahun pertama proklamasi, penduduk Jakarta berkisar 600 ribu jiwa, dengan kepadatan (sekitar) 900 jiwa per kilometer persegi. Lima tahun setelahnya, tercatat tambahan 400 ribu orang dari jumlah sebelumnya. Kepadatannya menjadi lebih dari 1.000 jiwa per kilometer persegi.

Kini, kepadatan penduduk telah mencapai 10 kali lipat, yakni lebih dari 10 ribu orang per kilometer persegi. Data ini tak lagi mengejutkan, mengingat secara keseluruhan populasi Jabodetabek sudah di atas 28 juta penduduk. Lebih dari 64 persen di antaranya adalah masyarakat kelas menengah dan atas.

Menurut Boston Consulting Group, pada 2020 nanti populasi kelas menengah di Jakarta akan berkembang menjadi 30 juta orang. Hal ini akan meningkatkan permintaan untuk perumahan di masa mendatang.

3. Hutan pohon menjadi hutan beton

Dalam bukunya berjudul "Jakarta 1950-an: Kenangan Masa Remaja," Dr Firman Lubis menyatakan bahwa dulu Kampung Pedurenan adalah sebuah desa yang sepi, sangat indah dan hijau karena banyaknya pepohonan. Namun, pada pertengahan 1950, desa itu berubah drastis. Penduduk mulai berdatangan, dan bangunan-bangunan didirikan untuk tempat tinggal dan beragam keperluan.

Pada periode 2009-2012, konstruksi bangunan gedung pencakar langit di Jakarta (di atas 150 meter) meningkat 87.5% dari periode yang sama sebelum tahun 2009. Pada tahun 2020, jumlah gedung pencakar langit diperkirakan bertambah lagi, hingga mencapai 250 unit. Hal ini membuat Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

4. Meroketnya harga properti

Sebelum proklamasi, berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun rumah atau kantor di Jakarta? Pada 1950, untuk membangun kantor pemerintahan biayanya sekitar Rp 120 ribu - Rp 200 ribu saja.

Sekarang, untuk membangun gedung dengan ukuran sama, Anda harus menyediakan uang hingga puluhan miliar rupiah. Untuk harga properti premium, bahkan Jakarta menjadi yang tertinggi di dunia, naik 38,1% dibandingkan tahun lalu.

Salah satu alasan kenapa ini terjadi adalah inflasi hiper sebesar 650 persen pada masa pemerintahan Sukarno, 1965. Alhasil, harga-harga melesat tinggi, yaitu 1.000 persen, utamanya untuk tanah dan bangunan.

5. Masih terjangkau di sejumlah lokasi

Tingginya harga tanah dan bangunan, serta kelangkaan lokasi mungkin membuat Anda pesimistis menemukan sebuah rumah di Jakarta dan kota-kota lainnya. Namun sebenarnya, peluang memiliki properti masih terjangkau di beberapa tempat.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat, Anda bisa melakukan penelusuran informasi dan lokasi yang Anda butuhkan di internet. Anda bisa mendapatkan informasi pasar properti terbaru di Indonesia, sebelum akhirnya membuat keputusan pembelian. Selamat mencoba!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau