Fenomena menarik tengah terjadi di Hongkong, Tiongkok. Pemerintah setempat menambah persediaan lahan "murah" dengan harga kompetitif dan bisa diakses pengembang pengembang gurem dengan keterbatasan kapital.
Peningkatan pasokan lahan pemerintah tersebut, memberi kesempatan kepada pengembang kecil untuk berjuang dan bertahan di tengah kompetisi sengit bisnis dan industri properti Hongkong yang selalu dimenangkan oleh konglomerat besar kaliber internasional.
Chief Executive Administration, Leung Chun-ying memutuskan untuk meningkatkan jumlah pasokan tanah. Meski ukurannya tidak luas, namun jumlahnya banyak dan bisa mengakomodasi pembangunan 20.000 flat pribadi.
Sebelumnya, setiap lot lahan, telah dijual dengan harga miliaran dollar, sehingga memaksa pengembang kecil mencari lahan di luar wilayah garapan dan menghindari persaingan dengan pengembang besar.
Direktur Far East International Consortium, Chris Hoong, mengatakan pengembang kecil dan menengah berjuang untuk bersaing dalam penjualan tanah pemerintah atau lelang yang didominasi oleh konglomerat besar.
"Namun, mereka hampir tidak bisa bersaing dengan saingan mereka yang lebih besar karena sebagian besar penjualan tanah pemerintah atau lelang menampilkan potongan besar properti dengan harga selangit," kata Hoong.
Saat ini, pasar tanah di Hongkong telah berubah dan sangat berbeda. Dengan pasokan lahan lebih banyak, memberikan para pengembang dari berbagai kelas lebih banyak kesempatan untuk membangun produk berharga lebih murah.
Melalui tender pemerintah, Far East membeli dua lokasi pengembangan kecil, di Sha Tau Kok Tai Wai dan, Sha Tin, dalam enam bulan. Pada Oktober tahun lalu, perusahaan memenangkan tender lahan di daerah tertutup Sha Tau Kok senilai 143 juta dollar Hongkong atau setara Rp 219 miliar. Lahan ini dapat dikembangkan menjadi proyek perumahan sebanyak 240 flat.
Pengembang kecil lainnya, seperti Wang On Group, juga mengambil bagian dalam penjualan tanah pemerintah.
Kamis lalu, perusahaan patungan antara Wang On dan Kam Wah Holdings memenangkan tender untuk sebuah situs di Ma On Shan seharga Rp 1 triliun. Di atas lahan ini, perusahaan tersebut dapat membangun flat seluas 200.210 kaki persegi.
Materia ganda
Dua tahun sejak Leung menjadi Chief Executive Administration Hongkong, pemerintahannya masih bergulat dengan kesulitan meningkatkan pasokan lahan. Padahal sistem penjualan tanah sebelumnya telah efektif membangtu pengembang kecil.
Kebijakan Leung membuat kota baru di timur New Territories dianggap sangat konstroversial sehingga memicu lonjakan harga tanah. Walhasil, perusahaan beralih mengonversi bangunan tua dan membangun kembali menjadi proyek-proyek perumahan kelas atas.
Sayangnya, sebelum itu terjadi, langkah pendinginan materai ganda diperkenalkan tahun lalu. Sehingga menaikkan biaya perolehan untuk properti dan peningkatan risiko dalam bisnis. "Dengan penurunan nilai tanah, kita meraih kesempatan ini untuk memperoleh tanah pemerintah," katanya.