JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama Perum Perumnas, Himawan Arief mengeluhkan sulitnya posisi lembaga yang dipimpinnya dalam peta sektor perumahan Nasional. Di satu sisi, sesuai UU No 19 Tahun 2003 sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dituntut untuk mencetak laba, sementara di sisi lain harus menyediakan perumahan murah bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Posisi kami sulit dan dilematis. Pemerintah tidak melakukan intervensi signifikan untuk membuat Perum Perumnas menjadi lebih berdaya. Mampu mencetak profit, sekaligus membangun rumah murah buat MBR. Sejak 1993, satu perak pun tidak ada yang ngalir dari pemerintah. Selama ini, kami pinjam uang dengan skema komersial," urai Himawan di sela-sela bedah visi Capres-Cawapres 2014 mengenai sektor perumahan, kepada Kompas.com, Selasa (10/6/2014).
Jadi, lanjut dia, bagaimana mau berperan aktif dan strategis, jika pemerintah hanya menuntut Perum Perumnas untuk memenuhi kebutuhan (demand), sementara dukungan untuk menyediakan pasokan (supply) justru sangat minim. Itu pun skemanya tidak jelas.
"Demand makin tinggi, supply-nya minim. Sekarang kita lihat, praktik di negara lain, industri propertinya tumbuh baik. Khususnya public housing bagi MBR ada bagiannya sendiri. Sementara di sini dibiarkan jalan sendiri. Mekanisme intervensi pemerintah dalam membantu masyarakat dengan KPR bersubsidi tidak signifikan. Pemerintah (seharusnya) memberikan insentif di sisi pasokan, bukan hanya kebutuhan. Namun, kenyataannya sisi pasokan tidak punya skema," ujar Himawan.
Dia juga mengungkapkan bahwa selama pasokan rumah minim dan harganya mahal, maka rumah tidak akan pernah terjangkau oleh masyarakat. Sejauh ini, hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah pun tidak mampu menghasilkan pasokan sesuai kebutuhan MBR. "Selain itu, selama belum ada tindakan untuk menahan harga tanah, MBR tidak akan pernah dapat membeli dan memiliki rumah. Revisi harga jual yang dilakukan pemerintah pun malah membuat masyarakat semakin tidak mampu membeli rumah," tandas Himawan.
Akibat ini, tambah Himawan, ketimpangan pasokan (backlog), semakin jauh. Di negara lain, sistem seperti Singapura, keseimbangan intervensi pemerintah dan mekanisme kebutuhan dan pasokan sudah terbukti. Singapura mampu mengucurkan hampir 80 persen subsidi pemerintah. Badan Pembangunan Perumahan (Housing Development Board/HDB) bisa memberikan pinjaman ke masyarakat. Demikian halnya dengan Korea. Kedua negara ini membantu dalam penyediaan pasokan, sehingga harganya jauh lebih murah dari rumah komersial," pungkas Himawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.