Demikian analisa Senior Associate Director and Head of Research & Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Arief N Rahardjo, mengenai tren pembangunan pusat belanja di daerah, kepada Kompas.com, Jumat (28/2/2104).
Menurut Arief, karakter pasar Semarang dan Surabaya hampir serupa, didominasi kalangan atas generasi kedua. Itulah mengapa, para pengembang dan peritel berani memasuki pasar ibu kota Jawa Tengah tersebut, karena telah terjadi pergeseran kebiasaan dalam berbelanja (spending money habit).
"Jika beberapa dekade lalu mandek alias jalan di tempat. Dalam beberapa tahun terakhir, Semarang mulai berubah. Pasar kota pesisir pantai ini mulai dimasuki kalangan atas generasi kedua dan ketiga. Mereka yang bersekolah di luar kota atau luar negara mulai kembali ke kampung halamannya," papar Arief.
Dia melanjutkan, generasi muda inilah yang secara dramatis mentransformasi kebiasaan berbelanja. Mereka tak akan menghitung dan berpikir terlalu lama hanya untuk berbelanja pakaian atau sepatu bermerek internasional dengan harga jutaan Rupiah.
"Selama ini, mereka kalau berbelanja di luar negeri atau kota mereka bersekolah. Sekarang anak-anak muda Semarang mulai berani menunjukkan kelasnya di pasar lokal. Perubahan ini tentu saja direspon peritel dengan membuka cabang mereka. Padahal, awalnya mereka berpikir Semarang sangat biasa, bahkan berada di belakang Yogyakarta," tandas Arief.
Saat ini, di Semarang terdapat beberapa pengembangan pusat belanja dengan konsep one stop shopping, sebut saja Paragon City, Citraland Semarang, dan Java Mall. Ke depan, akan ada banyak lagi pengembang yang membidik kota ini, sebut saja Wika Realty, Adhi Persada Properti, Perumnas, Hutama Karya Realtindo, dan Bahama Development.
"Mereka akan memilih opsi pembangunan pusat belanja spesifik yang berkonsentrasi pada gaya hidup dan hiburan (entertainment and lifsetyle)," katanya. Beberapa ruang ritel spesifik yang tengah dikerjakan adalah Lippomall, Sentraland, Paragon City 2 dan Marque de Lafayette.
Ruang ritel spesifik yang bakal menjadi tren, lanjut Arief, umumnya menyatu dengan kompleks pengembangan berkonsep multifungsi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk optimalisasi lahan.
"Ketimbang membangun pusat belanja di lokasi berbeda, ongkosnya bakal lebih besar. Ini karena harga lahan di Semarang sudah sangat tinggi. Di pusat kota sudah mencapai Rp 20 juta hingga Rp 45 juta per meter persegi. Sementara membangun mal di dalam area multifungsi, lebih feasible dari segi pembiayaan," tandas Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.