Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, mengutarakan hal tersebut kepada Kompas.com, Kamis (9/1/2014).
Menurut Ferry, untuk saat ini, transaksi jual beli menunjukkan kecenderungan meningkat. Begitu ada pasokan baru, maka langsung terserap pasar secara maksimal. Namun begitu, aktifitas transaksi jual beli ini belum tentu beriringan dengan aktifitas sewa (leasing). Demikian halnya dengan tingkat hunian.
"Karena fenomena yang terjadi sekarang adalah pembeli dengan motif investasi merupakan pihak yang memiliki akses paling baik dan memungkinkan untuk membeli apartemen. Satu pembeli dengan profil seperti ini bisa memborong beberapa unit apartemen dalam satu bahkan beberapa gedung," urai Ferry.
Bandingkan dengan pembeli bermotif sebagai pengguna akhir (end user). Khusus pengguna akhir kalangan menengah dan bawah, masih tersandera kebijakan Bank Indonesia mengenai loan to value dan kenaikan suku bunga. Padahal pasokan apartemen saat ini didominasi oleh kelas menengah-menengah dan menengah bawah. Sementara investor bisa membeli dengan tunai keras, atau tunai bertahap.
Kalangan menengah dan bawah ditengarai tidak memiliki kemampuan membayar uang muka sebesar 20 persen dari Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) pertama untuk tipe 22-70 meter persegi berikut jumlah angsuran per bulan yang tinggi akibat kenaikan suku bunga, 30 persen untuk KPA kedua dan 40 persen untuk KPA ketiga.
Walhasil, menurut riset Bank Mandiri, penerapaan aturan LTV tersebut, ternyata menekan pertumbuhan KPA maupun KPR. Pertumbuhan KPA-KPR menurun dari sebelumnya 44 persen pada Juni 2012 menjadi hanya 18 persen pada Juni 2013. Pada tahun 2012, porsi yang terkena dampak LTV adalah sebesar 39 persen sementara tahun 2013 sebanyak 11 persen. Jadi, secara kumulatif porsi yang terkena LTV mencapai 50%. Dengan porsi yang besar tersebut, diduga penurunan pertumbuhan KPA-KPR akan semakin tajam.
Ferry mengindikasikan dari 93 persen unit apartemen terjual dari total sekitar 115.000 unit, nyaris separuh dibeli investor. Mereka memborong apartemen sebagai jaminan secure asset jika suatu saat kelak akan disewakan kembali dengan harga tinggi.
"Tentu saja ekspektasi capital gain untuk saat ini wajar terjadi, mengingat pasar apartemen di Indonesia, khususnya Jakarta menawarkan pertumbuhan menggiurkan," tandasnya.
Harga terus melonjak hingga 21 persen selama tiga tahun terakhir, terutama di kawasan pusat niaga terpadu (central business district/CBD), 25 persen di kawasan Selatan Jakarta, dan 17 persen di luar kawasan premium.
Jika pada 2010 lalu, harga rerata apartemen di CBD mencapai 16,5 juta per meter persegi, saat ini sudah menembus level Rp 36,1 juta/m2. Sedangkan harga di selatan Jakarta mencapai Rp 25,8 juta/m2 dari sebelumnya Rp 12 juta per meter persegi dan di luar area premium bertengger di angka Rp 18,2 juta/m2 dari sebelumnya Rp 9,3 juta/m2.
"Jelas, pembeli investor terpincut dengan pertumbuhan harga tersebut. Akan tetapi, sayangnya, hal tersebut belum tentu diimbangi aktifitas transaksi di pasar sewa. Jika aktifitas pasar sewa tidak bertumbuh, maka pasar apartemen berpotensi 'sakit'. Apartemen terjual tetapi tidak tersewa, pada gilirannya capital gain yang diburu tidak akan tercapai," ucap Ferry.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.