Salah satu contoh bangunan dan fasilitas yang masih bisa dinikmati warga Kota Bogor hingga saat ini adalah Istana Bogor. Istana ini dibangun pada 1745 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Baron van Inhoff. Kemudian, dilanjutkan dengan pembuatan Kebun Raya oleh Gubernur Jenderal pada masa kependudukan Inggris, Thomas Raffles.
Dalam masa-masa pendudukan Belanda dan Inggris, Bogor menjelma menjadi kota impian. Kota tersebut dijadikan pusat pendidikan, penelitian, dan peristirahatan karena lokasinya yang sangat mendukung. Tidak heran, karena kota ini berada di ketinggian 190 meter sampai 330 meter di atas permukaan laut.
Lokasi ini membuat temperaturnya cukup rendah dan sejuk. Bahkan, pada bulan Desember hingga Januari, Kota Bogor bisa sedingin 21,8 derajat celsius. Namun, benarkah kini Kota Bogor masih menjadi "Kota Taman" impian?
Tampaknya julukan "Kota dalam Taman" hanyalah romantisme masa silam. Sebab, Bogor terbaru adalah kota yang gamang, kota yang tak memiliki kejelasan identitas dan karakter. Panas, sesak, kumuh, kotor, dan semrawut.
"Populasi bertambah, pembangunan sporadis dan kehilangan orientasi," ujar Yayat Supriyatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta, kepada Kompas.com, Jumat (27/9/2013).
Endah Wahyuningtias dari FMIPA UI dalam publikasi Lontar Universitas Indonesia berpendapat, bertambahnya jumlah penduduk secara konstan ditengarai karena adanya faktor penarik, seperti makin banyaknya fasilitas sosial-ekonomi dan statusnya sebagai kota penyangga Jakarta.
Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan (PKT) Kebun Raya Bogor Mustaid Siregar, seperti dikutip Antara, mengatakan, pesatnya pembangunan di Kota Bogor menyebabkan keberadaan Kebun Raya kian terancam. Tidak hanya karena polusi udara, tetapi juga ketersediaan air.