Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BBM Naik, Dollar Naik... Pengembang Rumah Murah "Teriak"!

Kompas.com - 28/08/2013, 17:18 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Eddy Ganefo menyatakan bahwa situasi ekonomi nasional akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS jelas sangat berpengaruh pada sektor properti. Tak terkecuali berimbas pada pembangunan perumahan bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Bukan hanya komponen-komponen impor, namun tentu berpengaruh juga pada ekonomi Indonesia secara global, terutama kaitannya dengan material-material produksi lokal. Karena, dengan kenaikan nilai dollar ini, kita khawatir akan semakin memberatkan pembangunan perumahan, khususnya rumah murah bersubsidi. Kita kan baru saja terkena imbas kenaikan BBM, itu saja belum selesai. Sebab, permintaan kita untuk kenaikan harga rumah subsidi belum juga dipenuhi pemerintah," ujar Eddy Ganefo di sela workshop pajak untuk anggota DPP Apersi di Jakarta, Rabu (28/8/2013).

Eddy mengatakan, bukan hanya pengembang properti menengah atas yang harus realistis menyikapi fenomena depresiasi rupiah terhadap dollar AS saat ini. Sebagai pengembang rumah murah, para pengembang Apersi juga "dihantam" mahalnya harga-harga material.

"Kita sudah terasa sekali soal naiknya harga material. Tapi, menurut saya, ini baru karena imbas kenaikan BBM, belum dipengaruhi kenaikan dollar, mungkin sebentar lagi," katanya.

Namun, Eddy mengungkapkan, khusus produk rumah komersial yang saat ini kenaikannya sudah di atas 30 persen, harus segera disikapi dengan baik oleh pemerintah. Ia khawatir puncaknya akan benar-benar terjadi bubble (gelembung).

Menanggapi hal tersebut, Nanan Diana, Presiden Direktur PT Duta Pratama Propertindo, salah satu pengembang rumah bersubsidi, menyatakan, imbas kenaikan BBM dan kenaikan dollar AS sangat signifikan dari segi material. Namun, karena KPR FLPP merupakan kebutuhan rumah yang mendasar bagi MBR, secara pasar hal itu tidak terlalu berpengaruh.

"Efeknya bukan pada pasar, tapi ke pengembangnya, itu yang sangat besar. Paling tidak, sudah mengurangi marjin, terasa sekali. Kemudian muncul masalah yang paling sulit, yaitu belanja tanah untuk lokasi strategis rumah bersubsidi. Akhirnya, kami harus lari ke daerah pinggir. Untungnya, kalau di kawasan industri, seperti proyek kami di Karawang, pasar rumah bersubsidi sangat tinggi per harinya," ujar Nanan.

Nanan mengungkapkan, strategi bisnis terpaksa harus diubah karena masalahnya adalah lahan dan material. Dia mengatakan, kenaikan harga lahan dan material bisa mencapai 5 persen sampai 10 persen.

"Karena itulah, biaya operasional kami membengkak," ujar Nanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau