Apakah posisi harga aktual seperti ini bisa dikatakan tak terkendali alias tak masuk akal? Apakah masyarakat Indonesia masih bisa membelinya?
Head of Research Jones Lang LaSalle Anton Sitorus mengatakan bahwa hal ini dapat diukur dengan menghitung rasio kemampuan beli terhadap harga properti (price to income ratio). Secara internasional, price to income ratio adalah enam (6). Jika di atas itu, harga properti dapat dikatakan tidak masuk akal karena konsumen tidak mampu mengaksesnya.
"Price to income ratio dihitung dari hasil pembagian harga properti yang akan dibeli atas jumlah pendapatan selama setahun," jelas Anton kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (17/7/2013).
Nah, sejauh mana rasio daya beli masyarakat Indonesia terhadap harga properti dalam kondisi aktual? Ambil contoh penghasilan rata-rata PNS Golongan I-IV sesuai PP No 22 Tahun 2013 sebesar Rp 3,162 juta. Sementara itu, hunian yang diinginkan berukuran 36/72 seharga Rp 400 juta.
Jika pendapatan tersebut dikali 12 bulan, akan menghasilkan angka Rp 37,9 juta per tahun. Dengan begitu, rasio kemampuan PNS kita membeli properti adalah 10. Artinya, PNS kita baru bisa membeli properti seharga itu selama 10 tahun.
Rasio ini, menurut Anton, masih bisa ditoleransi. Di China, rasionya mencapai
27. Inilah yang menyebabkan kondisi pasar properti Negeri Tirai Bambu tersebut mengalami gelembung (bubble).
Kondisi bubble sendiri terjadi apabila pertumbuhan harga properti sangat tinggi melampaui pertumbuhan harga barang-barang (komoditas) lainnya, sementara daya beli berkurang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.