Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Pakai untuk WNA, bak Pisau Bermata Dua....

Kompas.com - 15/02/2013, 13:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemberian hak pakai bagi warga negara asing (WNA) yang ingin memiliki properti di Indonesia seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, hak pakai tersebut mengatur kepemilikan properti Indonesia oleh WNA, sementara di sisi lain memaksa perubahan regulasi karena hak pakai dapat juga menjadi kewajiban bagi warga negara Indonesia (WNI) yang ingin tinggal di hunian vertikal berstatus tanah milik pemerintah.

"Tanah awal itu bisa dari mulai HPL (Hak Pengelolaan Atas Tanah) milik pemerintah, di atasnya diberi HGB (Hak Guna Bangunan) atau hak milik, tapi kalau perusahaan diberi HGB. Nah, sekarang, dia dibeli SHM (Sertifikat Hak Milik) Sarusun itu, kan bangunan gedungnya juga SHM Sarusun. Itu tanda milik, Surat Tanda Milik Satuan Rumah kalau untuk WNI. Kalau dia orang asing, tanahnya hak pakai, bangunannya SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung)," kata Zulfi Syarif Koto Ketua Housing Urban Development (HUD) seusai debat terbuka properti bertajuk "Pro Kontra Kepemilikan Properti Bagi Warga Negara Asing di Indonesia", Kamis (14/2/2013).

Namun, menurut Zulfi, saat ini belum ada aturan mengenai beragam jenis kepemilikan dalam satu tower rusun. Dia menyarankan, aturan tersebut harus dikawal dan tidak perlu lagi dikotomikan atau membenturkan asing dengan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).

"Asing, ya, asing, atur regulasi sendiri. Diawasi, dikendalikan, ditentukan zonanya. Kalau yang MBR lain," ujar Zulfi.

"Tapi, bisa saja, orang asing membeli rumah, bukan tanah. Yang membeli rumah, diberi SKBG, dia diberi kewajiban. Anda kalau beli rumah di sini harganya sekian, luasnya sekian, Anda itu harus mempekerjakan WNI, misalnya. Minimal tiga orang, ada lapangan pekerjaan, kan?"tambahnya. 

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (APERSSI) Ibnu Tadji memandang negatif terhadap langkah tersebut. Menurut Ibnu, tidak mudah mengubah pola pikir masyarakat Indonesia mengenai hak pakai. Meski berkekuatan hukum dan bankable, masyarakat masih memandang rendah hak pakai jika dibandingkan dengan hak milik properti.

"Mindset-nya tidak bisa diubah. Apapun undang-undang itu, pasti bisa tidak disetujui. Karena wakil rakyat kita mewakili masyarakat yang sudah memiliki mindset tertentu. Wacana boleh-boleh saja, tapi saya tidak percaya itu bisa dilakukan. Tidak mudah itu," ujarnya.

Ibnu mempertanyakan, apakah wacana ke arah perubahan menjadi hak pakai bisa dilakukan atau tidak. Menurut dia, DPR sebagai konstituen masyarakat sudah kadung punya cara pandang seperti saat ini, bahwa status hak pakai "lebih rendah" dari hak milik.

"Memberi keleluasaan pada pihak asing untuk bisa memiliki saja sudah mendapat pertentangan yang begitu besarnya, apalagi mengubah hak kepemilikan. Hak kepemilikan itu diwariskan dari orangtuanya, dari eyangnya, kemudian diubah? Ada pertentangan yang luar biasa di sana. Itu sangat tidak realistis menurut saya," katanya. 

Menurut Ibnu, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) saat ini seharusnya berfokus pada pemberian solusi bagi kebutuhan perumahan rakyat. Ia menyayangkan adanya penyelewengan isu seperti ini.

"Ketika membangun perumahan rakyat gagal, dari tahun ke tahun backlog-nya meningkat, justeru mereka selewengkan pada isu properti asing," kata Ibnu.

Saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), backlog atau kurangnya pasokan perumahan di Indonesia di tahun 2010 sudah mencapai 13,6 juta. Angka ini bahkan diproyeksikan dapat membengkak hingga 15 juta pada 2014 mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com