Oleh Jeffri AM Sitombuk
KOMPAS.com - Meningkatnya industri properti akhir-akhir ini membuat semakin mengeliatnya penjualan properti, baik secara landed house maupun apartemen seiring pangsa pasar yang tinggi beberapa tahun ini. Tak dimungkiri, pertumbuhan properti sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Kira-kira, demikianlah pandangan beberapa pengamat. Mereka memberikan apresiasi terhadap industri properti dalam kemajuan dan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional akibat dari adanya multiplierefect, diantaranya tercipta lapangan kerja baru, peningkatan jual beli, perputaran uang secara rill disektor mikro.
Akan tetapi, negatifnya multipliereffect tersebut mendorong peningkatan kebutuhan yang tinggi. Alhasil, jika dalam hal tidak terdapat produk properti, maka akan memakan korban sangat besar, mengindikasikan bahwa perekonomian dalam situasi kurang berkembang.
Rezim yang tidak tegas
Nasib buruk masih dirasakan properti nasional, sebagaimana megaproyek rusunami yang ternyata gagal, dianggap salah sasaran. Dalam hal ini pemerintah belum mampu untuk melakukan sebagian tugasnya sebagai pembina, diantaranya selaku perencana, pengaturan, pengendali seta pengawas seperti yang diamanatkan Undang-undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman serta Undang-undang No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Kesalahan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah. Soal lemahnya pemerintah dalam pengawasan dan penindakan, bahkan cenderung tutup mata, itu membuat masyarakat kembali menjadi korban. Bisa dilihat, bagaimana "developer nakal" pun bermunculan sehingga bertambah runyamlah masalah-masalah dalam properti Indonesia.
Akhirnya, sikap tidak tegas menjadi ujung pangkal masalah. Undang-undang yang baru keluar masih dianggap tidak tegas, bahkan mengulang kesalahan rezim lalu dan sebagian penggiat properti beranggapan sebagai "kesalahan sejarah", mulai masih berkutatnya masalah terkait PPJB sampai dengan AJB hingga dengan penyerahan sertifikat hak milik atas nama pemilik. Semua seakan menjadi masalah klasik.
Banyaknya klausula yang tidak prokonsumen sejak dari hulu hingga hilirnya, yang membuat nilai tawar konsumen tidak berimbang. Celakanya lagi, perimbangan itu tidak diharuskan masuk ke dalam hukum positif.
Banjir
Tak dapat dipungkiri memang, bahwa masalah developer di awali dari pembiayaan. Sektor bisnis developer (pengembang) dituntut melihat peluang keuntungan yang sebesar-besarnya, dan undang-undang pun mengisyarakan hal tersebut.
Namun, jika melihat skema pembangunan properti dalam proyek pembiayaan dapat dilihat dari 3 segmen pembiayaan yaitu modal sendiri, kredit bank, dan uang muka dari konsumen. Di sinilah ide untuk mengeruk keuntungan dari konsumen properti dan benih-benih sengketa ditanamkan. Jurang antara konsumen dan developer pun mulai digali.
Kebutuhan perumahan yang tinggi seiring jumlah penduduk semakin bertambah membuat stok perumahan belum dapat terealisasi. Stok properti yang belum tersedia ditambah keuntungan yang menggiurkan, maka dapat dilihat bahwa keinginan masyarakat memiliki properti pribadi sangat besar. Belum lagi dengan nilai prestise yang akan timbul bila memiliki properti lebih dari tiga.
Masalah berikut dari aspek stok dapat dilihat penjualan properti dari aspek pre selling atau stok properti menunggu dibangun dan post selling atau stok properti yang siap dijual.
Dalam hal pre selling mencapai 75% dari nilai penjualan properti adalah bermasalah, dalam hal ini jarak penyerahannya dapat sampai 6-9 bulan (landed house). Bahkan, apartemen dan perkantoran dapat sampai dengan 18-24 bulan.