KOMPAS.com - Keindahan yang tampak dari ketidaksempurnaan. Itulah kalimat yang bisa menjelaskan filosofi wabi-sabi secara singkat.
Bagi yang familiar dengan konsep ini, wabi-sabi adalah filosofi estetika kuno dari Negeri Sakura, Jepang.
Terpengaruh dari Taoisme dan ajaran Buddha Mahayana, wabi-sabi percaya keindahan justru datang dari detail-detail yang tampak kasar, tidak rapi, atau sederhana, tidak mencolok, dan terabaikan.
Kepercayaan ini kemudian berkembang ke berbagai cabang ilmu dan aspek kehidupan, tidak terkecuali arsitektur dan desain interior.
Estetika arsitektur dan interior Jepang sendiri cukup populer dan banyak diadopsi oleh pemilik hunian yang tertarik dengan budaya Jepang.
Namun, wabi-sabi masih belum terlalu familiar bagi orang-orang pada umumnya.
Berdasarkan penjelasan singkatnya, wabi-sabi mengedepankan desain yang minimalis, tidak neko-neko, dan penggabungan unsur-unsur alami dengan warna-warna earthy, netral, dan material alami bertekstur.
Berikut cara penerapan wabi-sabi:
1. Masukan Unsur “Ketidaksempurnaan” ke Dalam Rumah
Tidak perlu ada keseragaman warna dudukan kursi meja makan atau bantal di sofa. Meja makan kayu dengan sudut-sudut yang dibiarkan kasar atau kabinet laci yang mempertahankan tekstur alami kayu.
Dengan tidak terlalu fokus pada estetika yang sempurna dan memasukan berbagai unsur yang tidak selaras, rumah menjadi lebih hangat ditinggali.
2. Material dan Unsur Alami
Gunakan furnitur-furnitur dengan bahan kayu yang masih sedikit kasar dan belum diselesaikan, bambu, batu bata, marmer, dan elemen-elemen lain yang memberikan kesan otentik dan rustic di saat yang bersamaan.