SALAH satu akad yang dapat menyebabkan pindahnya kepemilikan tanah adalah wakaf sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik kepada seseorang atau Nadzir baik perorangan maupun badan pengelolaan dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk kemaslahatan umat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Tanah yang telah diwakafkan atau keluar dari hak milik yang mewakafkan, secara hukum Islam bukan lagi menjadi hak milik nadzir, tetapi menjadi hak Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu perlunya meningkatkan peran wakaf berupa tanah sebagai pranata keagamaan.
Peran ini tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum.
Permasalahan yang sering terjadi terhadap perolehan tanah wakaf karena kurangnya instansi terkait dan masyarakat dalam memahami mekanisme dan prinsip-prinsip dalam perolehan tanah waqaf di Indonesia.
Dalam praktiknya, wakaf dilakukan atas dasar keikhlasan dan keridhoan semata serta mengikuti tata cara adat setempat tanpa didukung data otentik dan surat-surat keterangan, sehingga secara yuridis administratif status wakaf banyak yang tidak jelas.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) November 2017, tercatat bahwa baru 62 persen tanah wakaf di Indonesia yang memiliki sertifikat wakaf. Padahal, luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 420.000 hektar.
Lambatnya sertifikasi tanah wakaf di Indonesia salah satunya disebabkan keterbatasan kompetensi pengelola wakaf atau Nadzir. Untuk pembuatan sertifikatnya serta Pajak Bumi Bangunan harus membayar sekurang-kurangnya mencapai Rp 75 juta. Akibatnya, banyak tanah yang terbengkalai karena hal tersebut.
Selanjutnya BWI menggungkapkan bahwa penggunaan tanah wakaf di Indonesia masih identik konsep tradisional dimana untuk masjid atau makam. Padahal, menurut BWI, wakaf juga bisa dan boleh dikelola menjadi aset-aset ekonomi yang menghasilkan keuntungan finansial yang berguna bagi kemaslahatan umat.
Contoh yang dapat dijadikan rujukan adalah misalnya di Selandia Baru. Tanah wakaf dikelola sebagai peternakan domba yang hasilnya dapat dinikmati masyarakat. Secara ekonomi tanah wakaf sangat bermanfaat dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari segala permasalahan hukum yang tersebutkan diatas maka beberapa solusi hadir untuk menengahinya. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006. Namun konsep 3 in 1 in The Land Acquisition memberikan solusi konkrit dalam permasalahan Hukum Agraria khususnya dalam hal perwakafan.
Konsep tersebut memberikan panduan untuk perolehan tanah wakaf yang sesuai dalam konsep Islam yang bertumpu pada 3 aspek penting yaitu aspek perizinan (ikrar wakaf), aspek penguasaan (bukti kepemilikan hak), dan aspek sertifikasi tanah wakaf (pencatatan).
Konsep 3 in 1 in The Land Acquisition ini berlandaskan pada 3 teori dasar yaitu teori keadilan dalam arti tidak merugikan kedua belah pihak, teori kepastian hukum tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan teori kemanfaatan yang maknanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
1. Titik Start (Perizinan)