JAKARTA, KOMPAS.com - PT Farpoint Realty Indonesia membidik target penjualan atau marketing sales apartemen The Loggia senilai Rp 1,440 triliun.
Chief Operating Officer (COO) Farpoint Realty Indonesia Widijanto mengungkapkan hal itu kepada Kompas.com, usai peluncuran The Loggia, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
"Iya penjualan sekitar 20 persen dari nilai investasi. Sekitar Rp 1,440 triliun. Tidak terlalu agresif, tapi kami yakin target ini bisa tercapai," kata Widijanto.
The Loggia merupakan hasil kolaborasi strategis antara PT Farpoint Realty Indonesia dengan Tokyo Tatemono.
Penandatanganan kesepakatan dilakukan oleh Komisaris Farpoint Realty Honey Angkosubroto dan President Director & CEO Tokyo Tatemono Hitoshi Nomura, Rabu (12/12/2018) lalu.
Skema kerja sama antara kedua perusahaan ini adalah joint venture dengan komposisi masing-masing Farpoint Realty Indonesia sebesar 55 persen, dan Tokyo Tatemono sebesar 45 persen.
Menurut Head of SBU Residential Farpoint Realty Muljadi Janto The Loggia dikembangkan di atas lahan seluas 1,2 hektar. Mencakup 498 unit dalam dua menara.
Tersedia tiga tipikal unit, masing-masing 2 kamar tidur seluas 72-76 meter persegi, 2 kamar tidur plus berdimensi 75-83 meter persegi, dan 3 kamar tidur seukuran 115-117 meter persegi.
"Unit-unit apartemen ini kami tawarkan dengan harga tunai keras (hard cash) mulai dari Rp 25,8 juta per meter persegi," kata Muljadi.
Tidak seperti apartemen sekelas lain pada umumnya, menurut Muljadi, setiap unit The Loggia dapat ditambah fungsinya menjadi area private sanctuary.
Dilengkapi dengan day beds, tempat tidur susun, sliding panel rotan yang dapat dimodifikasi untuk menciptakan ruang lapang, serta ruang penyimpanan tersembunyi di berbagai sudut.
Blusukan
The Loggia dirancang oleh Atelier Bow-Wow dengan langgam arsitektural kontemprer dengan adopsi unsur-unsur lokal, seperti tegel yang diproduksi khusus di Yogyakarta.
Sebelum mendesain apartemen yang berlokasi di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Co-Principal Atelier Bow-Wow Yoshiharu Tsukamoto melakukan riset mendalam untuk mengetahui gaya dan perilaku hidup kalangan urban Jakarta.
Bahkan, Yoshiharu sampai harus "blusukan" ke kampung-kampung di Jakarta demi mendapatkan "rasa" dan inspirasi dalam mendesain yang diharapkan dapat diterima masyarakat ibu kota.