JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena kampung dan wilayah kota, mulai bersolek dengan berbagai mural dan warna.
Sebut saja Kampung Jodipan di Malang, dan Kampung Akuarium di Jakarta. Serta tak lupa berbagai mural yang menghias pusat-pusat kota di Yogyakarta, Solo dan kota-kota lain di Indonesia.
Selain dianggap memperindah tampilan kota, keberadaan gambar-gambar dan warna ini juga mendatangkan wisatawan yang datang untuk sekadar mengagumi atau berswafoto di sekitar gambar-gambar tersebut.
Baca juga: Warna-warni Jakarta, Bikin Hilang Konsentrasi dan Sakit Kepala
Namun, menurut Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ahmad Djuhara, tampilan kota seharusnya jujur dan cerdas.
"Kalau cerdas warganya, ya harus tahu apa perlu warna-warni atau bisa ada banyak cara lain," ujar Ahmad Djuhara kepada Kompas.com, Selasa (27/11/2018).
"Komposisi fungsi-fungsi yang nyaman dan menyenangkan warganya lebih penting daripada hanya mural atau warna-warni," ucap Djuhara.
Djuhara menambahkan, cara untuk mewarnai kampung atau kota dengan mural atau warna memang bisa menjadi salah satu pilihan.
Namun, cara ini merupakan yang paling dasar atau paling rendah. Menurutnya, masih banyak pilihan cara yang lain yang lebih cerdas.
"Akan lebih menarik kalau fungsi kotanya dulu yang dibereskan, baru ditetapkan dan dipilih mana caranya yang paling cerdas," ucap dia.
Selain mural, pemerintah kota setempat dapat menyesuaikan penempatan ruang kota. Bisa juga dengan membuat atau keberadaan sebuah tengara atau menara.
Meski begitu, keberadaan kampung atau daerah yang dicat dengan warna dan beragam mural tak lantas membuat ciri khas sebuah kota hilang.
"Yang memberi warna pada kota itu bukan cat, tapi manusianya," sebut Djuhara.