KOMPAS.com - Berkecimpung di wilayah yang terdampak bencana kadang memberi pengalaman unik bagi pribadi-pribadi yang mengalaminya. Menyaksikan penderitaan dan kesedihan korban bencana adalah santapan sehari-hari mereka, para relawan maupun pekerja di daerah bencana.
Wangga Nugrahtama adalah satu di antara sekian pegawai pemerintah yang mesti turun ke Sulawesi Tengah yang mengalami bencana gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami itu.
Aparatur Sipil Negara (ASN) ini bertugas untuk menangani infrastruktur rusak akibat bencana yang melanda pada akhir September 2018 lalu. Tugas utamanya mengangkut rangka Jembatan Kuning alias Jembatan Ponulele yang roboh.
Sejak 15 Oktober 2018 lalu Wangga meninggalkan keluarganya untuk bertugas di bumi celebes. Sejak itulah petualangannya dimulai.
Bagi Wangga, bertugas di daerah bencana ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Di awal terjun ke lokasi, berbagai kendala menghambat pekerjaannya, seperti ketersediaan alat kerja.
“Alat berat susah didapat pada masa bencana,” ujar dia saat dihubungi Kompas.com, akhir Oktober 2018.
Wangga dan 9 rekan lainnya bersama sejumlah BUMN konstruksi melakukan pembongkaran Jembatan Kuning yang biasa disebut Jembatan Palu IV.
Apa pasalnya disebut Jembatan Palu IV?
Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sugiyartanto menjelaskan, wilayah Palu Barat dan Palu Timur dipisahkan sungai yang membelah Kota Palu. Kedua wilayah tersebut dihubungkan oleh empat jembatan.
Jembatan Kuning yang roboh merupakan jembatan nomor IV dengan panjang sekitar 250 meter. Pasca bencana, ketiga jembatan lain masih dapat digunakan untuk mendukung mobilitas masyarakat.
“Jembatan Palu IV yang diistilahkan Jembatan Kuning itu terdapat di muara,” kata dia.
Wangga yang bertugas di lapangan berpendapat, tantangan lain yang dihadapi saat melakukan tugas adalah masyarakat di daerah bencana tak cukup kooperatif pada saat dilakukan pembongkaran. Kerja berat tersebut malah menjadi tontonan rutin masyarakat.
Faktor alam pun seolah tak bersahabat di saat mereka bekerja membongkar dan mengangkut rangka jembatan yang roboh di kawasan muara sungai itu.
“Air pasang yang sangat tinggi apalagi pada saat bulan purnama dan angin yang sangat kencang membuat operator crane menghentikan pengangkatan rangka jembatan,” ujar dia.
Belum lagi para “penunggu” muara sungai yang secara diam-diam mengintai membuat para pekerja merasa seperti menjalani uji nyali. Kawasan muara sungai yang bertemu dengan lautan memang menjadi komunitas buaya muara.
“Pekerjaan kami ada di pinggir pantai sebelah barat dan di tengah pulau. Nah, di tengah pulau itu merupakan tempat mereka (buaya) berjemur. Ini pertama kalinya lihat buaya hidup di depan mata, tanpa pagar pelindung seperti di kebun binatang,” tuturnya.
Apalagi, masyarakat setempat sempat mengisahkan bahwa beberapa waktu lalu ada nelayan yang diterkam buaya karena menyebar pukat di kawasan itu.
“Banyak buaya muara. Paling banyak mereka muncul sampai delapan ekor. Mereka tidak mengganggu tapi kami merasa takut,” kata Wangga.
Ketegaran para pekerja ini memang bagai diuji dengan berbagai tantangan yang dihadapi di lapangan. Namun, hingga hari ini mereka tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab dari Kementerian PUPR.
Tanggung jawab yang mereka emban yakni menginventarisasi jalan dan jembatan yang terkena dampak bencana, mengkoordinasi jalan akses logistik ke lokasi bencana, merencanakan jalur rute alternatif apabila akses jalan dan jembatan utama yang tidak bisa dilalui, serta menyiapkan rencana pemrograman rehabilitasi dan rekonstruksi jalan dan jembatan di Sulawesi Tengah.