MEDAN, KOMPAS.com - Pada 2025 mendatang, Indonesia menargetkan dapat menggunakan energi terbarukan yang bersumber dari angin, air dan tata surya. Persentasenya sekitar 25 persen, naik dari saat ini yang masih enam sampai tujuh persen.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Saleh Abdurrahman, Indonesia punya potensi energi terbarukan melimpah. Misalnya matahari dan angin yang belum dimanfaatkan maksimal.
"Daerah-daerah harus mengembangkan energi minim risiko dan berbiaya murah ini. Lebih murah dari nuklir. Meski tren harga energi terbarukan semakin menurun sedangkan harga nuklir tiap tahun naik," kata Saleh, Rabu (26/9/2018).
Dia menilai, menggunaaan energi nuklir khususnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) belum menjadi prioritas.
Walaupun wacana penggunaan bahan bakar nuklir dalam mengatasi kebutuhan listrik di Indonesia terus diperbincangkan.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah public acceptance (penerimaan publik) yang masih menjadi kendala serius dalam membangun PLTN.
"Pembangunan PLTN harus mempertimbangkan banyak aspek, tidak hanya teknis, tapi juga aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Angin dan air adalah sumber energi terbarukan Indonesia, bukan nuklir," ucapnya.
"Hati-hati, jangan lupa, acceptability itu penting. Suara rakyat suara Tuhan," timpal mantan menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro di Medan.
Usai menjadi pembicara di seminar energi bertema pengelolaan sumber daya energi yang berkelanjutan untuk ketahanan nasional.
Dicontohkannya tentang studi kasus rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria yang mendapat penolakan kuat dari publik, akibatnya rencana tersebut tidak dapat dieksekusi.
Pasca gempa Fukushima, kata Purnomo, sebaiknya kehati-hatian dan studi komprehensif menjadi pijakan utama pemerintah untuk memutuskan langkah selanjutnya.
Terkait wacana pembangunan PLTN, Purnomo mengingatkan jangan tergesa-gesa.