JAKARTA, KOMPAS.com - Relaksasi kebijakan Loan to Value (LTV) yang baru dicetuskan Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR). Properti dianggap menjadi sektor yang paling berperan penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kepala Grup Riset Makroprudensial Departemen Kebijakan Makro Prudensial BI Retno Ponco Windarti mengungkapkan, kontribusi properti terhadap produk domestik bruto atau PDB Indonesia masih sangat rendah, bila dibandingkan negara-negara lain.
Berdasarkan data 2017, rasio KPR terhadap PDB hanya sekitar 2,9 persen. Porsi ini kalah jauh bila dibandingkan Singapura (44,8 persen), Malaysia (38,4 persen), Jepang (33,7 persen) dan Korea Selatan (26,8 persen).
Baca juga: 2019, Pemerintah Hanya Akan Terbitkan 234.000 KPR Subsidi
Demikian pula bila dibandingkan Thailand dan Filipina yang masing-masing telah mencapai 22,3 persen dan 3,8 persen.
"Kemudian kalau kita lihat bagaiman dengan perkembangan KPR yang telah disalurkan, Indonesia juga masih relatif kecil. Namun demikian, pertumbuhan KPR Indonesia pada periode Maret 2018 tertinggi setelah Filipina," kata Retno dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Hingga Maret, jumlah KPR yang disalurkan Indonesia telah mencapai 32,3 juta dollar AS. Sementara, Filipina baru 11,8 juta dollar AS.
Adapun penyaluran KPR tertinggi terjadi di Jepang mencapai 1.846 juta dollar. Disusul Korea Selatan 441,8 juta dollar, Singapura 129,7 juta dollar dan Malaysia 128,4 juta dollar.
Meski sejumlah kalangan menilai bila kondisi properti Tanah Air belum cukup baik, namun Retno optimistis hal itu tidak akan berlangsung lama. Ada beberapa faktor pendukung percepatan pertumbuhan sektor ini.
Pertama, pertumbuhan KPR per Mei 2018 telah mencapai 12,75 persen, lebih tinggi bila dibandingkan penyaluran kredit umum perbankan yang hanya 10,26 persen.
"Kalau lihta tipe pertumbuhannya, tipe rumah 22-70 itu adalah tipe yang tumbuh sangat tinggi. Itulah kondisi yang mendorong pertumbuhan KPR bisa kita tingkatkan," ujarnya.
Berikutnya, ada indikasi peningkatan konsumsi rumah tangga ke sektor perumahan meski masih rendah. Baik itu dalam hal pembelian rumah maupun perlengkapan rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga berperan sebesar 54,3 persen terhadap PDB nasional. Dari jumlah tersebut 13,5 persen diantaranya disumbang dari konsumsi rumah tangga untuk perumahan dan perlengakapan rumah tangga.
"Jadi kalau kita dorong aktivitas di kedit rumah tangga maka pertumbuhan ini akan sangat tertolong," ujarnya.
Terakhir, bila dilihat tingkat utang rumah tangga juga masih tergolong rendah. Hal itu tercermin dari nilai Debt to Service Ratio (DSR) rumah tangga nasional yang rata-rata masih di kisaran 10,96 persen.
"DSR warning kita itu sekitar 30 persen. Di kita masih sekitar 10 persen secara agregat. Dan kalau kita lihat lebih detail di sektor mana yang lebih tinggi, semua sektor rumah tangga DSR-nya masih cukup rendah," kata Retno.
Secara rinci, tingkat DSR tertinggi adalah untuk rumah tanggan dengan jenis pekerjaan buruh (13,61 persen), disusul usaha sendiri (7,83 persen), dan pengusaha (7,41 persen).
"Artinya bahwa kemampuan rumah tangga untuk melakukan kredit konsumsi KPR masih sangat tinggi. Jadi rangenya masih cukup besar untuk dorong kredit KPR tadi karena sebenarnya kemampuan bank untuk melakukan pembayaran dan cicilan bunga masih cukup tinggi," tutup dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.