JAKARTA, KOMPAS.com - Bisnis properti yang masih lesu ditengarai menjadi latar belakang diterapkannya kebijakan relaksasi Loan to Value (LTV) oleh Bank Indonesia (BI).
Sejumlah asosiasi pengembang diduga berada di belakang layar penerapan kebijakan ini. Mereka melobi pemerintah agar bisnis mereka tetap bergairah.
"Lobi-lobi inilah yang sebenarnya harus dibarengi pemikiran, dengan konsep. Supaya nanti menghasilkan kebijakan yang tepat dan efektif. Tapi ini tidak," kata pengamat properti Jehansyah Siregar kepada Kompas.com, Selasa (3/7/2018).
Baca juga: Pengamat: Relaksasi LTV Hanya Dinikmati Kelas Menengah
Alih-alih mendorong masyarakat untuk berinvestasi, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menilai, langkah ini cenderung populis tanpa konsep.
"Hanya dengan asumsi, hanya dengan keinginan. Kemudian dari sisi pemerintah juga hanya dengan keinginan pencitraan. tidak ada konsepnya," kata dia.
Menurut dia, untuk memajukan bisnis properti di Tanah Air, pemerintah semestinya mengembangkan kawasan kota satelit di sekitar pusat kegiatan masyarakat.
Baca juga: 196 Pengembang Properti Jawa Barat Gulung Tikar
Hal tersebut pernah dilakukan masa kepemimpinan Presiden kedua Soeharto pada kisaran tahun 1980-an. Saat itu, pemerintah mengembangkan kawasan Klender, Depok, serta sejumlah daerah di Surabaya, Medan, dan Semarang.
Dengan pengembangan kawasan baru, para pengembang pun berkesempatan untuk memproduksi rumah dalam skala besar.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki kemampuan untuk membeli rumah di kawasan tersebut lantaran harganya yang akan relatif terjangkau.
"Jadi, bukan semata dari pembiayaan atau relaksasi bisnis properti," tuntas Jehan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.