BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Schneider

Ternyata, Transportasi Massal Memang Tak Bisa Ditawar Lagi!

Kompas.com - 19/04/2018, 09:10 WIB
Haris Prahara,
Dimas Wahyu

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap hari dirundung kemacetan. Begitulah permasalahan menahun kota metropolitan di Indonesia, utamanya Jakarta.

Suara klakson sahut-menyahut membuat riuh langit Ibu Kota. Aksi salip-menyalip acap kali menambah gaduh suasana. Emosi pun bisa memuncak seiring nestapa kemacetan tak berujung.

Sengkarut lalu lintas itu juga rupanya berkaitan erat dengan pemborosan energi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, sektor transportasi menempati urutan tertinggi dalam hal bauran konsumsi energi Tanah Air.

Pada 2015, sektor transportasi menyumbang 36 persen konsumsi energi Indonesia, disusul oleh sektor industri 31 persen, rumah tangga 15 persen, komersial 5 persen, dan lain-lain sebesar 13 persen.

"Sektor transportasi memang masih menjadi penyumbang terbesar konsumsi energi saat ini. Karena itulah, kita harus mulai menghemat (energi) dari sekarang," kata Kepala Subdirektorat Penerapan Teknologi Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edi Sartono, Rabu (18/4/2018) di Jakarta.

Adapun Edi berbicara dalam forum Innovation Summit 2018 yang diselenggarakan oleh Schneider Electric.

Edi mengatakan, pada 2025, pemerintah berharap besarnya konsumsi energi pada sektor transportasi itu dapat ditekan menjadi 30 persen.

Dalam mengikis penggunaan energi sektor transportasi itu, lanjut Edi, sejumlah langkah telah didorong oleh pemerintah.

Utamanya dalam meningkatkan kualitas serta kapasitas angkutan massal.

Bentuknya bermacam-macam, antara lain bus rapid transit (BRT), mass rapid transit (MRT), serta light rail transit (LRT).

BRT telah beroperasi di sejumlah kota besar Tanah Air. Sebut misalnya, Jakarta.

Hingga saat ini, Jakarta telah memiliki 13 koridor transjakarta. Kota seperti Semarang, Bandung, dan beberapa kota lainnya juga telah memiliki jaringan angkutan massal berbasis bus.

Kondisi Stasiun Dukuh Atas untuk MRT Jakarta, Rabu (28/3/2018).KOMPAS.com/RIDWAN AJI PITOKO Kondisi Stasiun Dukuh Atas untuk MRT Jakarta, Rabu (28/3/2018).
MRT pun tengah dibangun di Jakarta dan ditargetkan beroperasi pada Maret 2019.

Sementara itu, selain di Jakarta, LRT juga segera beroperasi di Palembang, Sumatera Selatan.

"Selain transportasi massal, ada juga program fuel switching, yakni konversi dari bahan bakar minyak ke gas maupun biodiesel," kata Edi.

Efisiensi energi

Ditambahkan Edi, negara-negara di dunia saat ini tengah giat melestarikan lingkungan dengan program penghematan energi.

Indonesia pun ingin berperan aktif dalam upaya tersebut.

Untuk diketahui, Indonesia telah ambil bagian dalam Perjanjian Paris 2015 silam untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah selisih dua derajat celsius.

"Cara (pelestarian lingkungan) adalah dengan mendorong teknologi berkelanjutan. Itu dilakukan pula dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional," tutur Edi.

Senada dengan Edi, Country President Schneider Electric Indonesia Xavier Denoly mengatakan, penghematan energi sudah menjadi kebutuhan negara-negara dunia, termasuk Indonesia.

Karena itulah, imbuh Xavier, Schneider Electric terus berupaya membantu langkah penghematan energi dan pelestarian lingkungan tersebut, antara lain dengan teknologi sistem pengelolaan EcoStruxure.

"EcoStruxure bisa dipakai untuk menghemat penggunaan energi dalam berbagai sektor, seperti transportasi, operasional gedung, dan mesin," pungkas Xavier.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com