JAKARTA, KompasProperti - Arsitektur berbicara tentang ruang tinggal dengan kulit yang berganti-ganti.
Meski demikian, seiring berjalannya waktu, kebutuhan ruang seringkali dikorbankan demi mencapai kepuasan mata atau estetika.
“Orang tidak lihat lagi, bahwa arsitektur ditempati manusianya. Padahal ruang itu punya satu hal yang intangible value yang orang gak sadar ruang itu bisa membunuh penggunanya, entah secara cepat atau pelan-pelan,” ujar Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Jakarta Stevanus J. Manahampi atau Steve kepada wartawan, Kamis (14/12/2017).
Steve mengatakan, gaya orang memilih arsitektur sangat subyektif. Namun, saat orang-orang melupakan kualitas ruang ketika membangun rumah dan hanya mementingkan estetika, menjadi suatu kemunduran.
Steve mencontohkan perbedaan arsitektur Sumba dengan Joglo. Orang Sumba mungkin tidak nyaman tinggal di Joglo, begitu pula sebaliknya orang Jawa yang tidak nyaman tinggal di rumah orang Sumba.
“Sumba itu ciri khasnya dapur berada di tengah. Orang Jawa tidak akan nyaman tinggal seperti itu karena bukan hasil budayanya dia,” kata Steve.
Steve mengingatkan, jangan sampai kenyataan hari ini menghilangkan budaya dan kekhasan daerah di waktu mendatang.
“Hari ini kita lihat, semua rumah yang dibangun pengembang dari Aceh sampai Papua semua sama. Bentuk ruko ya begitu saja,” tandas Steve.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.