JAKARTA, KompasProperti - Berdasarkan hasil riset Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Mei 2017, kredit macet atau non performing loan (NPL) untuk pemilikan flat atau apartemen dan rumah tinggal mengalami peningkatan.
Dari kedua jenis properti ini, peningkatan kredit macet apartemen secara persentase hampir 0,8 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya.
Pada Mei 2017, total pembiayaan kredit apartemen Rp 13,294 triliun. Sedangkan pengembalian yang tertunda Rp 339 miliar sehingga NPL meningkat 2,5 persen.
Adapun pada Mei tahun lalu, NPL bank hanya 1,76 persen. NPL pada Mei 2017 juga mengalami peningkatan dibandingkan April 2017 sebesar 2,4 persen.
Sementara itu untuk rumah tapak, meski pergerakannya stagnan, secara persentase memang lebih tinggi daripada apartemen. NPL rumah tapak pada Mei 2017 sebesar 2,86 persen, sedangkan pada April 2,82 persen.
Dibandingkan dengan Mei 2016 sebesar 2,83 persen, hal tersebut menunjukkan kredit bermasalah rumah tapak juga mengalami kenaikan.
Banyak spekulan
Ketua Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto melihat kenaikan NPL tersebut merupakan imbas dari banyaknya spekulan properti.
"Banyak yang bukan beli (apartemen) untuk kebutuhan primer tetapi untuk spekulasi," ujar Zulfi kepada KompasProperti, Senin (31/7/2017).
Ia mengatakan, apartemen yang NPL tinggi ini hampir pasti komersial. Para pembeli yang macet membayar cicilan tersebut, Zulfi menduga, karena termakan penawaran dari pengembang maupun broker.
Para spekulan berusaha mengambil keuntungan dari kenaikan harga properti ataupun dengan menyewakannya kembali.
Menurut Zulfi, para spekulan ini menjadi sasaran empuk bagi broker. Sementar broker cenderung memaksa orang untuk membeli.
Untuk itu, pemerintah harus membenahi proses pemasaran atau penjualan properti oleh broker.
"Karena mereka itu sering melakukan trik-trik yang menurut saya tidak bermoral memancing orang untuk beli," kata Zulfi.
Ia menekankan, broker memiliki andil dalam membuat NPL apartemen di bank-bank mengalami kenaikan.
Selain dari sisi pelaku properti, Zulfi menilai perbankan dalam hal ini OJK harus mengontrol pemberian kredit apartemen di bank-bank.
"Kalau yang NPL tinggi itu pasti bank swasta, bukan bank BUMN. Soalnya BUMN itu selektif, enggak sembarangan kasih kredit. Sementara BTN itu kan lebih fokus ke masyarakat ke bawah," sebut Zulfi.
Ia menambahkan, OJK memiliki wewenang untuk mengatur aktivitas di bank, jika memang ada indikasi peningkatan kredit macet terus-menerus.
Jika perlu, OJK harus tegas memberi sanksi kepada bank yang performa kredit macetnya tidak menunjukkan penurunan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.