YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kandidat Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) 2016-2019 perlu mengawal aspirasi para pengembang daerah. Dengan berbagai persoalan yang ada saat ini, para pengembang daerah masih butuh uluran tangan dari calon pemimpin REI.
Demikian hal itu mengemuka pada debat kandidat dalam rangka sosialisasi pemilihan Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) masa bakti 2016-2019 di Yogyakarta, Jumat (7/10/2016). Berbagai persoalan, mulai perizinan, rumah bersubsidi, hingga ekspansi pengembang besar ke daerah-daerah tak henti dilontarkan.
Sabar, perwakilan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) REI Kalimantan Barat, misalnya. menyoroti komitmen calon Ketua REI untuk mengawal program rumah bersubsidi skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Menurut dia, pengembang di daerah banyak yang fokus membangun rumah subsidi untuk masyarabat berpenghasilan rendah (MBR).
"Bagaimana kandidat berkesinambungan mengawal FLPP terkait program Sejuta Rumah. Belum lagi persoalan perizinan yang belum terasa efeknya seperti yang digulirkan pemerintah pusat," ujar Sabar.
Sementara itu, jika perwakilan DPD REI Kalimantan Tengah, Frans, mengaku realita di lapangan memperlihatkan masih banyak pekerjaan rumah bagi Ketua REI, antara lain listrik dan tata ruang, perwakilan REI Banten, Roni, memusatkan masalah makin banyaknya pengembang besar masuk ke daerah.
"Apa yang harus dilakukan REI dengan semakin banyaknya pengembang besar ke daerah?" ujar Roni.
Calon Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) periode 2016-2019, Soelaeman Soemawinata, menjawab tantangan tersebut. Dia mengakui bahwa salah satu tugas utama Ketua REI ke depan adalah menjembatani kebutuhan pengembang daerah. Ada tujuh masalah krusial, menurut Soelaeman, yang sudah ia petakan lewat kunjungannya ke beberapa daerah.
"Pertama izin, kedua pembiayaan, kemudian tanah, pajak, tata ruang, perundangan dan infrastruktur. Kalau dilihat ini semua, saya akan curahkan pengalaman saya untuk daerah. Ingat, yang dimaksud daerah itu Aceh sampai Papua, artinya DKI Jakarta juga masuk kategori daerah. Semua punya persoalan berbeda, dari urusan urban sampe rural. Tidak ada itu cerita pusat saja," ujar Ketua DPD REI Banten yang akrab disapa Eman.
Ia tak menampik, bahwa pengembang besar terus berekspansi ke daerah. Menurut Eman, ada dua sisi positif dan negatif dengan masuknya pengembang besar ke daerah.
"Mereka masuk ke daerah itu kan ada konteks pengembangan bisnis. Sisi negatifnya, mereka akan menghabiskan market di daerah, sedangkan positifnya bisa menjadi pembelajaran pengembangan pasar," kata Eman.
Karena itulah, lanjut Eman, pengembang besar harus diajak untuk bersinergi dengan pengembang lokal. Sinergi yang dimaksud bukan cuma urusan bisnis, tapi bisa juga transfer of knowledge.
"Pengembang besar punya tanggung jawab sosial untuk membantu pengembang kecil. Dalam konteks pembangunan rumah untuk MBR misalnya, sinergi itu antara lain dalam penyediaan lahan, misalnya," ujar Eman.
Tak muluk-muluk
Tujuh permasalahan daerah yang sudah dipetakan oleh Eman perlu dicari solusi bersama-sama dengan daerah. Sebagai orang yang sudah berkecimpung selama 22 tahun di bisnis properti, Eman mengaku ingin agar ilmu dan pengalamannya bisa "dimanfaatkan" oleh pengembang daerah.
Menurut dia, selama ini faktor komunikasi menjadi kendala utama para pengembang daerah sehingga tidak maksimal memanfaatkan organisasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk mengurus Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) misalnya, lanjut dia, perlu dibuat unit kerja baru di tubuh REI.