Anak muda berusia nyaris seperempat abad ini sedang mengolah lahan seluas 1 hektar ketika Kompas.com menemuinya di Desa Limbangan, Kersana, Kabupaten Brebes pada pertengahan Agustus 2015. Eko, bersama sepuluh ibu-ibu muda warga desa yang sama, bahu membahu menjemput rezeki dengan menanam bawang.
Karena itu, Eko rela mengambil risiko. Meski gagal memanen padi pada April lalu, dia berani meminjam uang ke bank, dan teman-temannya yang punya penghasilan lebih baik darinya. Jumlah total uang yang dia pinjam senilai Rp 30 juta dengan masa tenor tiga bulan.
Tak mengherankan, ketika ditanya, mengapa tak beralih profesi atau berganti peran menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, atau merantau ke Jakarta seperti anak muda lainnya, Eko dengan mantap menjawab; menjadi petani adalah garis tangan hidupnya.
"Susah atau enggak, saya bertani saja," kata Eko seraya tersenyum.
Lebih singkat
Untuk menggarap lahan seluas 1 hektar yang dibagi dua menjadi masing-masing setengah hektar, Eko setidaknya membutuhkan dana Rp 35 juta. Setelah mendapat utangan Rp 30 juta, dia harus mencari selisih kekurangannya Rp 5 juta.
Tak putus asa, Eko mendapatkan selisih itu dari teman-temannya yang lain, sehingga uang di genggaman genap Rp 35 juta.
"Dari uang sebanyak itu, saya bagi-bagi. Sejumlah Rp 6 juta untuk mengolah lahan, Rp 12 juta membeli bawang di pengepul untuk dijadikan bibit, sewa pompa Rp 6 juta, dan Rp 6 juta buat pupuk serta pestisida," papar Eko.
Sementara untuk tenaga penanam bawang, Eko merekrut sepuluh ibu muda yang diberinya upah Rp 27.000 per hari.Karena itu, dalam lima bulan ke depan, setelah bawang, Eko akan menanami lahan yang disewanya dengan cabai dan kemudian bawang kembali sampai musim hujan tiba.
"Kalau hujan tidak turun sampai Desember nanti, saya tetap akan tanam bawang meskipun hasilnya tak sebesar nanem padi. Daripada menganggur gak ada kerjaan," kata Eko.
Demikianlah Eko, sang pekerja keras. Sosok yang mewakili kaum proletar. Kaum yang tak pernah berhenti bertarung, memperebutkan hari-hari yang kadang pasti, tak jarang pula pergi.
Eko tidak mengeluh, atau pun mempertanyakan keadaan. Kendati malamnya kerap tercuri pagi, sehingga tak sempat menikmati mimpi. Karena baginya, malam hanyalah milik mereka para pendamba harapan.
Eko percaya, Tuhan punya kepastian, petani tetaplah harus menanam, sampai fajar tak kunjung datang, dan jarum jam berhenti berdebam.
Berikut video perjalanan tim Kompas.com, menyoroti kehidupan para petani di Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes: