Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Urbanisasi, Keberlanjutan, dan Digitalisasi Penentu Kota Cerdas

Kompas.com - 09/06/2015, 23:45 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mengapa kota cerdas begitu digaung-gaungkan? Menurut Senior Vice President Smart City Competency Schneider Electric Charbel Aoun, banyak sekali faktor yang mendorong terbentuknya kota cerdas.

Tren ini terjadi di banyak kota besar lainnya. Tidak berapa lama lagi, tren kota cerdas juga bisa menerpa Jakarta.

"Terdapat tiga tren utama yang memengaruhi suatu kota, yaitu urbanisasi, keberlanjutan, dan digitalisasi," ujar Charbel saat acara New Cities Summit Jakarta 2015 di Hotel Raffles, Jakarta, Selasa (9/6/2015).

Pada tren yang pertama, lanjut Charbel, faktanya, jika melihat data historis penambahan penduduk di Jakarta dalam 50 tahun terakhir, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan bahwa Jakarta adalah salah satu kota yang paling besar di dunia.

Penduduk dari area pinggiran, bahkan hingga daerah-daerah yang jauh, berbondong-bondong menuju Jakarta. Alasannya bisa berbagai macam, mulai dari mencari kesempatan kerja, hingga hiburan.

Saat kota bertumbuh, Charbel menambahkan, masalah baru pun bermunculan. Infrastruktur tidak lagi cukup. Keadaan jalan dan sarana lainnya terus mengalami kerusakan.

Tren yang kedua, yaitu keberlanjutan. Menurut Charbel, bertambahnya populasi, baik di Jakarta maupun dunia, mengakibatkan kebutuhan udara bersih dan kehidupan yang lebih baik juga meningkat. Bumi pun sekarat, karena penghuninya terus menerus "memakan" dan mengonsumsi sumber dayanya.

"Ini mungkin bukan keinginan kita. Namun, atas dasar kebutuhan, kita terus menggunakan energi. Penggunaannya terus meningkat cepat sementara kita sendiri tidak berusaha menemukan solusinya," jelas Charbel.

Terkait digitalisasi, tambah dia, tren yang satu ini juga dialami penduduk kota cerdas. Dewasa ini, ponsel ataupun gadget, merupakan salah satu kebutuhan. Bukan hanya untuk bekerja, namun juga untuk hiburan misalnya menggunakan media sosial, antara lain Instagram, Twitter, dan Facebook.

Kota cerdas adalah keniscayaan. Kebutuhan dibentuknya kota cerdas menunjukkan adanya peningkatan dan pembentukan ekonomi. Di saat yang sama, kota cerdas menciptakan tantangan dan kesempatan.

Menurut Charbel, kebanyakan negara, khususnya di saat krisis finansial global saat ini, menyadari memiliki modal yang sangat kecil untuk menciptakan perubahan. Hal ini membuat dana untuk proyek-proyek menjadi terbatas. Padahal, kota cerdas sebenarnya merupakan solusi, karena konsepnya adalah mengurangi ongkos dengan mengeliminasi penggunaan lebih banyak sumber daya.

Charbel mengibaratkan sebuah kota yang berjuang untuk menyelesaikan masalah kemacetan, dengan membangun proyek jalan tol secara besar-besaran. Namun, ternyata hal tersebut kurang tepat. Pemerintah sebaiknya turut memanfaatkan teknologi di dalamnya.

"Contohnya Mumbai, India. Mumbai menyebarkan sistem kontrol lalu lintas adaptif dari Schneider Electric untuk mengoptimakan lalu lintas pada 253 titik persimpangan. Sistem ini mengawasi dan beraksi terhadap gangguan macet," tutur Charbel.

Hasilnya, lanjut dia, terjadi pengurangan rata-rata waktu kemacetan di dalam kota sebesar 12 persen. Berkurangnya waktu macet ini, berpengaruh terhadap penggunaan energi yang terpakai sebesar 85 persen dari lampu lalu lintas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com