Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuburan Komersial Bakal Dipajaki

Kompas.com - 19/04/2015, 07:41 WIB
Hilda B Alexander,
Arimbi Ramadhiani

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lahan pemakaman sejatinya merupakan lahan yang diperuntukkan sebagai fungsi sosial. Ketika makam berubah fungsi menjadi komersial, maka lahannya pun terbatas bagi kalangan tertentu.

Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)! Ferry Mursyidan Baldan, beranggapan, fenomena tersebut harus dicegah dengan cara menarik Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada lahan makam komersial.

"Logika saya, ketika bicara PBB, kuburan adalah objek yang dibebaskan dari PBB. Jadi, tanah kuburan adalah lahan yang bebas PBB. Ketika makam jadi wilayah eksklusif dengan banderol harga tertentu, maka tidak bisa bebas PBB," ujar Ferry saat ditemui di Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Jumat (17/4/2015).

Dengan harga-harga tertentu yang cenderung mahal, warga berekonomi lemah tidak bisa memanfaatkan lahan untuk pemakaman. Padahal, pemakaman memiliki fungsi sosial, artinya setiap orang, baik yang kaya maupun miskin, bisa memanfaatkan lahan tersebut. Dengan demikian, setiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan lahan untuk pemakaman.

Hal tersebut menyangkut segi kemanusiaan. Meskipun seseorang memiliki finansial yang kurang, tidak bisa kemudian diperlakukan seenaknya. Pembagian si kaya dan si miskin tercermin ketika ada warga sekitar pemakaman komersial harus mencari lahan yang lebih jauh untuk memakamkan keluarganya.

"Jangan sampai nanti warga setempat tidak bisa memanfaatkan. Tinggal di dekat situ, tapi tidak bisa dimakamin. Lama-lama kan orang tersingkir," jelas Ferry.

Menurut Ferry, hal ini berbahaya karena akan menjadi bom waktu atas sentimen yang terbentuk di masyarakat. Perlahan-lahan, Indonesia akan terbagi menjadi daerah-daerah yang khusus bagi si kaya dan si miskin. Penyebabnya, ketersediaan lahan cenderung diperuntukkan bagi kalangan tertentu.

Atas dasar pertimbangan tersebut, ia pun berpikir untuk memberlakukan PBB pada lahan pemakaman komersial. Ferry menampik jika dianggap penarikan pajak ini merupakan upaya untuk meraih keuntungan. Ia menegaskan, jika PBB untuk makam komersial diberlakukan, nilainya tidak seberapa bagi negara. Dia hanya ingin tanah makam kembali pada fungsi asalnya yang tidak membeda-bedakan seseorang.

"Kalau fungsi pemakaman jadi area komersial, itu yang kena PBB. Buatlah pemakaman yang sosial. Kalau fungsi sosial jalan, ya tidak akan kena PBB. Ini meninggal pun harus bayar. Lama-lama kita takut mati," tekan Ferry.

PBB ini, lanjut Ferry, akan dikenakan pada pengelola makam. Pasalnya, pengelola makamlah yang menarik biaya tertentu kepada pengguna lahan. Ia sekaligus mengingatkan kepada pengelola untuk mengembalikan fungsi sosial lahan makam. Penarikan PBB ini, kata Ferry, akan dibicarakan dengan Kementerian Keuangan sebagai pihak yang berwenang mengurus pajak.

Rencana memajaki pemakaman komersial disambut antusias Pelaksana Tugas Bupati Karawang, Cellica Nurachadiana. Menurut dia, PBB pemakaman komersial dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Karawang yang saat ini masih senilai Rp 800 miliar.

"Saya setuju dengan kebijakan itu, memajaki pemakaman komersial yang mengokupasi lahan sangat luas. Kami sedang menggenjot PAD yang selama ini kontribusi terbesarnya masih dari sektor industri, jasa restoran, dan perhotelan," tutur Cellica, Sabtu, (18/4/2015).

Di Kabupaten Karawang, saat ini setidaknya terdapat empat kuburan komersial dengan lahan raksasa, yakni San Diego Hills, Royal Familiy, Graha Sentosa Karawang, dan Al Azhar Memorial Garden. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com