Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Besar, Mengganti Lantai Terakota Bandara Soekarno-Hatta dengan Karpet!

Kompas.com - 24/09/2014, 14:34 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya PT Angkasa Pura II mempercantik tampilan terminal II Bandara Internasional Soekarno-Hatta, salah satunya, melapisi lantai terakota dengan karpet merupakan kesalahan buruk. Bahkan, dianggap sangat memalukan karena berselera sangat rendah.

Pengamat perkotaan dan sosial kemasyarakatan, Marco Kusumawijaya, mengutarakan kegusarannya tersebut dan meminta PT Angkasa Pura II sebagai pengelola Bandara Internasional Soekarno-Hatta untuk menghentikan upaya pelapisan lantai terakota dengan karpet.

"Kalau ada jalur, ingin betul disampaikan kepada pihak berwenang, bahwa menutupi lantai bandara dengan karpet itu benar-benar suatu kesalahan yang buruk sekali," ujar Marco dalam laman facebook yang diunggah Senin (22/9/2014).

Kegundahan Marco, bukan tanpa alasan. Menurutnya, lantai asli bandara sangat bagus. Sebagian berbahan lokal yakni marmer yang berasal dari Lampung. Sebagian lagi terakota (tanah liat yang dibakar).

"Saya kebetulan mengenal pembuat terakota ini yang berasal dari Purwakarta, dikenalkan oleh Imam Prasojo (sosiolog). Pada waktu itu, cerita beliau, terakota harus dibakar dan dirancang secara khusus untuk memenuhi persyaratan (spesifikasi) arsitek Perancis yang mendesain bandara Soekarno-Hatta. Dan hasilnya memang baik: warna yang kuat alami, dan sangat kokoh juga dari segi ketahanan fisik," papar Marco.

Dia juga menggarisbawahi, bahwa untuk kawasan tropis, marmer (batu alam), beton papar (exposed) dan terakota merupakan bahan-bahan yang ideal dan alamiah. Sehingga perawatannya tidak sulit. Juga tidak perlu dicat serta tidak perlu diganti-ganti, karena tidak akan menjadi usang.

"Sebaliknya dengan karpet. Dari waktu ke waktu akan usang, harus diganti. Berarti akan ada sampah karpet, yang bukan perkara mudah diolah ulang kalau dalam jumlah besar. Merawat karpet? Harus dengan pengisap debu dan sabun. Dan ini harus cukup sering. Ada juga orang yang alergi debu yang terperangkap dalam karpet. Jadi mengganti lantai terakota dengan karpet menghancurkan semua kebaikan bahan-bahan alamiah itu," tambah Marco.

Dia menuturkan, memang ada keuntungan menggunakan karpet yakni dapat meredam suara dan bisa berganti-ganti sesuai selera. "Tapi apakah itu penting? Jadi, kalau teman-teman punya jalur kepada pengelola bandara, mohonlah bantuannya menyampaikan saran agar jangan pakai karpet. Kembalikan lantai terakota ke bentuk aslinya," kata Marco.

Jangan lupa, Marco mencoba mengingatkan, Bandara Internasional Soekarno-Hatta pernah mendapatkan penghargaan Aga Khan Awards for Landscaping Architecture pada tahun 1995. Apresiasi ini tak sia-sia, mengingat sekarang taman di dalam bandara makin "keren" karena mencapai usia matang.

"Semoga para pihak berwenang dapat menghargai ini sebagaimana juga beton papar, terakota dan marmar lampung yang abadi, makin tua makin bagus seperti tanaman. Beberapa kali saya mengalami, memang ada mentalitet yang tidak mampu menghargai ini. Karpet, sebaliknya, adalah murahan dan menua dengan sangat buruk! Bagi saya, ada orang yang mengganggap karpet lebih baik dari terakota dan marmer yang sudah terpasang itu benar-benar membuat depresi," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan PT Angkasa Pura II menambah fasilitas fisik Bandara Internasional Soekarno-Hatta berupa karpet. Begitu penumpang sampai di Terminal II, akan disambut dengan karpet tebal dan bermotif.

Selain itu, mereka juga menyediakan taman baca di boarding room  serta tempat untuk mengecas baterai ponsel (charging booth). Tak lupa pula, mereka juga memajang monitor informasi pesawat dengan layar besar.


 





Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com