Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seharusnya Depok Jadi "Smart City", Bukan Kota Sarat Pusat Belanja

Kompas.com - 26/08/2014, 10:12 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

DEPOK, KOMPAS.com - Dalam hitungan bulan, kota Depok bakal menggelar pemilihan wali kota baru. Publik bertanya-tanya, akan seperti apa masa depan kota berpopulasi 1,75 juta jiwa ini?

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, menyangsikan masa depan Depok akan lebih baik dari sekarang, kecuali pemimpinnya seorang visioner yang dapat membawa perubahan signifikan.

Perubahan tersebut adalah Depok menjadi kota yang nyaman dan layak huni bagi warganya dengan pemenuhan kategori-kategori, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, transportasi publik, penataan ruang, rumah dengan harga terjangkau, serta kedekatan dan kemudahan mengakses fasilitas.

"Depok memiliki sejumlah potensi yang jika dieksplorasi akan membantu Depok menjadi lebih baik. Perubahan besar akan terjadi bila visi wali kota baru merancang Depok sebagai kota berbasis kekinian dan potensi yang ada. Kekinian dan potensinya berupa apa? Teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai modal besar kota ini. Berserakannya perguruan tinggi seharusnya dimanfaatkan untuk menghasilkan riset kualitas unggul yang menjadikan Depok menjadi kota yang lebih kreatif, pintar, dan efisien," papar Bernardus kepada Kompas.com, Senin (25/8/2014).

Dia melanjutkan, Depok yang awalnya direncanakan sebagai kota baru, harus mampu menghidupi kebutuhannya sendiri. Hal sebaliknya malah terjadi. Depok masih bergantung kepada Jakarta karena kebijakan-kebijakan pemerintah kota yang cenderung menjadikan kota ini sebagai dormitory town bagi Jakarta.

"Warganya memang tinggal di Depok, namun sehari-hari masih mencari nafkah di Jakarta. Pemerintah kota seharusnya mampu menyediakan kesempatan kerja bagi warganya agar tidak membebani dan bergantung pada Jakarta. Kesempatan kerja yang tentunya sesuai dengan potensi dan basis ekonomi yang ada. Misalnya di sektor industri kreatif, karena banyak perguruan tinggi yang beroperasi di sini," tutur Bernardus.

Depok juga seharusnya bisa menjadi kota pintar (smart city) dan seluruh warga, kegiatan, aktivitas bisnis dan aspek kehidupan lainnya terkoneksi secara digital melalui jaringan internet murah dan cepat. Pasalnya, Depok sangat dekat dengan Jakarta. Kedekatan inilah yang seharusnya dimanfaatkan pemangku kebijakan menjadikan kotanya lebih baik.

"Bukan malah memberikan izin pembangunan pusat belanja sebanyak mungkin. Di Jalan Margonda saja terdapat lima pusat belanja yakni Depok Mall, Plaza Depok, ITC Depok, Depok Town Square dan Margo City Square. Jalan Margonda adalah potret ketidakmampuan wali kota mengelola Depok dengan profesional dan cakap," tandas Bernardus.

Jadi, untuk wali kota baru nanti, Bernardus menyarankan, Depok harus mampu menciptakan magnet sendiri. "Apakah secara strategis menjadi kota pendidikan atau secara khusus menjadi kota konservasi (kawasan hijau). Kehadiran sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia bisa dimanfaatkan untuk menerjemahkan ulang rancangan kota menjadi smart city," ujarnya.

"Smart city" atau kota pintar, imbuh Bernardus, bisa diciptakan dengan memanfaatkan teknologi. Sehingga segala aspek yang terjadi di Depok, bisa berlangsung efisien. Mulai dari konsumsi energi, lalu lintas, pelayanan masyarakat, kesehatan, birokrasi, bisnis dan kehidupan sosial, seni, budaya berlangsung efektif dan efisien.

Hingga berita ini ditulis, konfirmasi yang dilakukan Kompas.com kepada wali kota Depok, Nurmahmudi Ismail, tidak berbalas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com